Di Tepi Cahaya


Tabir telah tersingkap. Tirai misteri yang membungkus gumpalan-gumpalan harapan itu telah terusung. Ini adalah kisah tentang perjalanan waktu dan petualangan menantang takdir.
4 tahun yang lalu aku adalah seorang perempuan dengan penampilan laki-laki. Rambut pendek yang selalu acak-acakan lengkap dengan muka yang selalu tanpa make up dan telinga yang tak satu pun menggantung sepasang anting di sana. Gaya  bicara ku yang tak ada lemah-lembutnya makin mendukung  penampilanku, hanya rok abu-abu inilah yang menunjukkan bahwa aku adalah seorang pelajar perempuan. Hingga seseorang datang mengubah hidupku. Ia adalah Hadi, teman sekelas ku sewaktu kelas 1 SMA. Aku tak pernah berfikir bahwa ini adalah cinta. Tapi aku memang benar jatuh cinta.
Malam itu aku terpaku di hadapan cermin. Memandang lurus ke bayanganku di dalam cermin. Rambut lurus pendek tanpa poni itu berulang kali aku sisir. Beberapa kali aku mencoba mengikat rambutku atau sekedar menjepitnya agar terlihat anggun dan menarik. Tapi tak ada hasilnya. Percuma. Aku tak kunjung terlihat cantik seperti kumpulan cewek-cewek fashionable yang setiap hari tak bisa ketinggalan kaca di kelasku. “ udah saatnya gue harus memperbaiki diri, umur gue udah 17 tahun dan penampilan gue engga ada bagus-bagusnya. Malah makin parah. Gimana ada cowok yang mau suka?” bisikku dalam hati.
****
Semenjak virus merah jambu mengelabui kepercayaan diriku, aku jadi lebih sering diam. Mengamati hal-hal yang mungkin bisa menginspirasi penampilanku agar lebih baik. Hingga inspirasi itu datang dari seorang gadis berkerudung yang duduk tak jauh dari tempat dudukku. Kerudungnya selalu rapi, bajunya selalu terlihat bersih dan tidak pernah berantakan. Ia adalah primadona di kelasku kala itu. Hampir semua anak-anak di kelasku  nyaman ketika bersamanya baik laki-laki maupun perempuan. Mungkin karena tuturnya yang sopan dan tingkah lakunya yang anggun tapi tetap bijaksana.
Pada malam hari nya aku membongkar lemari pakaianku untuk mencari selembar kain putih bekas kerudung ibuku yang dulu sering ku gunakan untuk seragam hari jumat dan acara isra mi’raj sewaktu di SMP.
“Kayaknya gue lebih baik pake hijab deh,tapi apa  kata orang-orang nanti ya? Gue cewek liar begini” kata ku bergumam dalam hati sambil memandang ke arah pantulan diriku di cermin yang telah berbalut kerudung putih.
****
“ Menurut lo gue cantik engga kalau pake kerudung?” kataku suatu hari pada gadis berambut ikal yang tengah menyeruput popmie di hadapanku.
“ Lo mau pake kerudung? Engga salah denger gue?”
“ Kayaknya iya deh, gue bosen sama penampilan gue yang engga ada anggun-anggunya ini. Pengen kayak si..”
“ Siapa ? si Nadifa?”
Aku menenggelamkan wajahku. Malu sekali harus berusaha menjadi orang lain hanya demi orang yang aku sukai, terlebih di kelasku aku  terkenal sebagai orang yang paling tidak tahu malu,super percaya diri dan apa adanya, dan saat ini aku harus meminta sebuah tanggapan tentang penampilanku pada orang yang sebenarnya bukan seorang muslim.
“Menurut gue elo cantik-cantik aja si” ujar gadis nonmuslim kemudian itu.
Aku terdiam tergugu. Mencoba mencerna tanggapan teman sebangku ku itu. Dia nonmuslim tapi dia memberi tanggapan positif terhadap pertanyaanku.
“Tapi bagaimana ya? Gue udah terlanjur beli seragam pendek. Kalau misalkan beli lagi, pasti mahal. Kasihan ibu gue kalau harus beli-beli terus”
“ Pakai manset aja. Kayak orang-orang yang berkerudung juga begitu”
Brilian! Hatiku rasanya seperti di rasuki kerumunan bunga-bunga musim semi. Bahagia sekali.
****
“ seragam itu mahal nak! Lagi pula kamu kan udah terlanjur pesan baju batik dan olahraga yang berlengan pendek. Segitu aja udah Rp 600.000, duit dari mana kalau mau beli lagi ? uang motong bawang itu dapatnya engga seberapa. Emang kamu mau motong bawangnya di tambahin? nanti kamu kecapekan dan engga fokus sekolah ” papar ibu panjang lebar.
Aku terhenyak.lututku lemas. Kulihat wajah yang tak lagi muda itu. Tangan keriputnya meremas-remas adonan kue yang dipesan tetangga kepadanya. Aku berusaha berdalih agar ibu mau mendukung niatku pakai kerudung. Karena bagaimana pun juga aku belum berpenghasilan dan aku butuh ibu. Mengandalkan ayah rasanya tidak mungkin, sudah tujuh tahun ini ayah tak bekerja karena kondisinya yang rapuh untuk mencari nafkah. Semenjak itulah ibu kehilangan sebelah sayapnya untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang sudah di bangun lebih dari 30 tahun itu. 
Terlahir sebagai anak ke-8 dari 10  bersaudara dan tinggal bersama di bawah atap kontrakan membuatku harus belajar prihatin terhadap kondisi orang tua, dan ini benar-benar menguji niatku. Tak terasa tetesan air bening mengepul di sela-sela bulu mata dan mengalir membasahi pipi. Aku merenung di teras rumah. Mataku tertuju pada beberapa anak yang berlarian dengan sarung mereka. Mereka baru saja pulang sehabis sholat isya di masjid. Tiba-tiba saja nuansa religius merasuki relung-relung hati yang selama ini ku rasa kering kerontang.
****
 “Intan,tolong di baca potongan ayatnya!” kata pak agus pada gadis berambut panjang yang terlihat berantakan yang duduk tepat di barisan paling berantakkan. Ia langsung membelalakkan matanya ketika namanya di panggil.
“Ayat yang mana pak ?”
“Dari tadi kamu engga dengerin bapak ya? Lagi ngapain kamu?”
Anak perempuan itu terlihat gelisah,tangannya meraba-raba bawah meja,seperti ada yang ingin dia sembunyikan. Pak agus berjalan ke arah gadis itu.
“Kamu bawa handphone? Berikan handphonenya”
Dengan sigap pak agus menggamit handphone dari dalam genggaman gadis itu. Anak-anak di kelasku tau apa yang selanjutnya akan di lakukan pak agus. Yup,beliau meraih sebuah map biru dan mencetang salah satu nama di deretan absen kelas kami. Itulah sangsi bagi barang siapa yang tidak mengindahkannya saat beliau menerangkan.
Pak agus kembali ke depan papan tulis. Beliau kembali menerangkan. Kali ini yang di tunjuk beliau untuk membacakan potongan surat adalah anak laki-laki berkaca mata yang duduk persis di hadapannya. Setelah potongan ayat itu di baca beserta terjemahannya,beliau mulai menjelaskan perlahan-lahan dan dengan serinci mungkin. Saat yang lain antusias mendengar dakwah pak agus, aku sendiri yang memilih merunduk sedih. Hatiku benar-benar tak karuan, seperti ada jelmaan bom nagasaki yang kini menghantam sanubariku. Ya, materi yang beliau sampaikan adalah tentang hijab, tentang kerudung. Baru kali ini materi agama islam yang selalu ku tinggal tidur itu begitu meresap. Aku malu sekali. Aku mau berkerudung bukan karena itu wajib, tapi karena aku ingin cantik seperti Nadifa agar Hadi menyukaiku. Airmataku tak kuasa terbendung lagi. Airmata itu perlahan membasahi rok abu-abuku. Beginikah rasanya ketika hidayah menyapa?
****
Esok harinya aku mencoba mendatangi bagian koperasi untuk menukar baju seragam batik dan olahraga yang terlanjur ku pesan berlengan pendek. Aku mantap untuk berhijab!
“Engga bisa! Kalau kamu mau tuker sekarang,kasihan yang sudah pesan” tanpa basa-basi seorang guru pengurus koperasi langsung menolak permintaanku.
“Tapi saya berubah pikiran mau pakai kerudung bu”
“Ya harusnya kamu dari awal sudah memikirkannya dong.”
“Yaudahlah, elu tinggal pakai manset ini” temanku yang menemaniku ke koperasi berbisik ke arahku.
“Pake manset juga ga boleh! engga pantes keliatannya” ujar ibu pengurus koperasi yang ternyata mendengar bisikan temanku.
“bukannya banyak yang pakai manset di sekolah ini ya bu?” kata ku geram
“Mulai besok akan ibu adakan razia untuk anak-anak yang tidak taat peraturan. Apalagi anak-anak kelas satu yang baru masuk, ada-ada aja tingkahnya buat melanggar peraturan. Pakai kerudung warna-warnilah, sepatu warna-warnilah. Mau bagaimana nasib bangsa ini kalau siswa pada begitu” kata guru pengurus koperasi itu panjang lebar sambil merapikan produk makanan di etalase koperasi.
Baiklah, kini aku benar-benar merasakan bagaimana sakitnya di tolak permintaan di jalan kebaikan. Bukan hanya itu, aku juga jadi korban anak-anak yang tidak patuh pada peraturan. Alhasil? Aku keluar dari ruang koperasi dengan mata berkaca-kaca sambil menahan sesak di dada. Temanku berkali-berkali menegarkanku. Tapi airmata itu malah jatuh dengan lihainya. Aku benar-benar cengeng.
Setelah pulang sekolah aku langsung membantu ibu memotong berkarung-karung bawang agar bisa ku beli seragam batik dan olahraga berlengan panjang. Karena harganya yang lumayan menguras kantong, aku membagi waktu belajarku dengan mencari uang tambahan. Mulai dari memotong bawang untuk pabrik bumbu, sampai bantu ibu jualan kue-kue basah ke tetangga. Beberapa kue-kue buatan ibu itu sebagian aku bawa ke sekolah.
“loh ini dagangan kamu?” kata guru bimbingan konseling yang singgah di kantin saat jam istirahat tiba.
“Eh ibu hehe iya bu, belajar wirausaha buat beli kerudung bu”
“Ya ampun bagus bagus,itu namanya kreatif”
“Iya bu lumayan banget hasilnya buat tambahan beli seragam batik dan olahraga”
“Bukannya pemesanan seragam batik dan olahraga sudah dari 1 bulan yang lalu?”
“ Iya bu betul. Tapi saya mau tuker yang lengan panjang, mungkin aja bisa pesan lagi kalau bayar lunas”
“Loh ga perlu bayar lagi, tinggal tambah aja. Harga lengan panjang itu beda tipis sama lengan pendek. Tinggal tambah aja uang yang sudah masuk dengan tambahan yang di perlukan. Jadikan kamu engga perlu capek cari uang sana-sini nak”
Kata-kata beliau benar-benar membuat batinku meleleh. Lebih tepatnya airmata ini. Entahlah, semenjak hidayah itu menyapa diriku, hatiku jadi rentan terenyuh. Mata ini jadi mudah sekali basah.
“ ibu serius? Tapi katanya engga bisa bu”
“ ibu yang akan bantu kamu”
 Tanpa aba-aba lagi aku langsung meraih telapak tangan beliau.
“ Terimakasih bu”
****
Pagi ini matahari bersinar lebih gagah dari biasanya. Segagah langkahku berjalan menyusuri lobi sekolah. Setiap orang yang aku temui menatap ku aneh. Entahlah, mungkin karena hari ini adalah hari pertama aku berkerudung.
“Wiiih sekarang tobat nih?”
“Ciaelah begitu dong dari dulu  pake kerudung”
“Abis makan apaan lu? Jadi bener gini? haha”
Begitulah kira-kira gambaran usil teman-temanku. Aku berusaha tetap tersenyum. Tersenyum walau tak seanggun Nadifa. Tersenyum walau Hadi akan menyukaiku atau tidak.
Penampilan ini benar-benar mengubahku. Bukan membuatku jadi orang lain, tapi jadi seperti orang yang baru terlahir kembali. Aku memutuskan untuk ikut organisasi Rohani Islam di sekolah. Dan mengikuti majelis-majelis al-Qur'an untuk mempelajari cara membaca al-Qur'an yang baik dan benar.
Semenjak saat itu, aku tak pernah berpikir untuk berhenti istiqomah pakai kerudung ini. Mimpi-mimpi yang selama ini selalu berorientasi pada dunia satu per satu aku ganti dengan mimpi yang lebih besar lagi, yaitu dengan menebar manfaat. Menjadi seseorang yang tak hanya mementingkan duniawi.
Selalu saja ada sekat antara gerbang impian dengan keterbatasanku. Tapi kenyataannya sekat itu terlalu tipis jika di bandingkan dengan panah hidayah yang melesat ke dalam hati orang-orang yang Allah pilih.
****
Bel berdering. Anak-anak didikku antusias masuk ke dalam kelas yang berisi anak-anak balita yang ingin belajar baca, tulis, dan hitung. 4 tahun ini aku belajar banyak hal. Tapi yang paling membuatku bahagia adalah sampai detik ini Allah masih mengizinkan aku untuk tetap berada di jalanNya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Melewatkanmu

Sudut Cahaya