SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara
3 tahun yang lalu
Gerimis membungkus ibukota. Cahaya matahari berpendar
dari balik awan-awan mendung. Hari ini hari minggu, Aku tidak berselera keluar
rumah. Bagaimanalah aku harus keluar rumah saat gerimis manis begini? Entahlah,
menarik selimut adalah pilihan terbaik kurasa.
Handphone ku bergetar. Tertera nama ‘Murobbi’ di sana. Ah
iya, hari ini ada liqo. Pengajian yang ku hadiri beberapa minggu lalu. Mungkin
itu pemberitahuan ada pengajian lagi. Aku mendengus sebal. Malas sekali minggu
pagi begini harus keluar rumah, Gerimis pula. Aku memutuskan tidak melihat
pesan itu. Melanjutkan tertidur di kamar sambil menikmati senandung suara raisa
di mp3. Handphoneku kembali bergetar, itu pesan dari murobbi lagi. Kali ini aku
terpaksa melihatnya. Ada dua pesan di sana, yang pertama pemberitahuan liqo, yang
satu lagi pertanyaan tentang kehadiranku. Aku menghela nafas. Berfikir untuk
mencari-cari alasan supaya tidak datang liqo. Berpikir terus dan terus dan tak
ada alasan yang tepat. Hujan? Gerimis? Sakit tiba-tiba? Ah tak ku dapati alasan
yang masuk akal. Aku memutuskan berangkat liqo di tengah gerimis manja yang
menyelimuti jalan. Motor honda beat putihku pun melesat membelah jalan raya menuju masjid
.Hidungku bersin-bersin sepanjang perjalanan menuju masjid tempat biasa kami
berkumpul. Aku memutuskan hadir karena tidak enak dengan murobbi itu. Tak
apalah bersin-bersin begini. biar murobbinya tahu aku rela datang walau sakit.
Motorku menepi di pekarangan masjid setelah 10 menit
perjalanan. Aku melangkah gontai ke tangga yang akan menuju ke teras masjid di
lantai dua. Sudah ada dua temanku yang sedang tilawah dan murobbi di sana. Aku
menyapa, dan menyalami satu per satu teman ku. Sejauh ini aku masih merasa
malas.
Setelah tilawah,kami bergantian mengisi form muttaba’ah.
Aku malas sekali mengisinya. Apa pula ini? Tapi baiklah, aku isi sebagaimana
aku melakukannya. Sholat fardhu, tilawah, puasa,sholat Sunnah dan beres. Aku
pun melanjutkan mengisi absen. Sejauh ini aku masih enggan dengan liqo.
Beberapa minggu lalu aku memang bersemangat sekali ikut pengajian. Ingin
memperbaiki bacaan al-qur’an. Tapi lama kelamaan, bagaimanalah aku kini harus
kehilangan waktu nonton anime di kamar, karena
ada jadwal ngaji seperti ini.
Keganjalan mulai ku
rasakan saat murobbi mengeluarkan bukunya. Ia telihat membulak-balikan halaman.
Mungkin sedang mencari materi. Fokus sekali membulak-balikkan buku sambil
sesekali batuk-batuk tertahan. Sesekali juga memegang dada, menahan sesak. Aku
mulai merasa tidak enak. Murobbi sedang
flu seperti ku ya?
“Ade-ade hari ini materi kita tentang menuntut ilmu ya”
Dan kalimat itu pun keluar dari mulut murobbi. Bukan,
bukan kalimatnya. Bukan karena kalimat itu aku lantas tertegun. Tapi suaranya. Suara
murobbi terdengar berat dan serak. Bahkan hampir tak terdengar suara. Suaranya
hampir hilang. Aku terhenyak. Menatap jeri pada murobbi. Aku baru sadar, wajah
murobbi pucat. Seperti sedang sakit payah. Tapi kenapa tetap liqo? Kenapa tidak
libur saja? Dan jawabannya pun langsung terjawab tanpa harus aku bertanya.
Dengan bibir yang
memutih dan wajah yang menatap kuyu kepada muttarobbinya, Murobi memulai
menjelaskan tentang pentingnya menuntut ilmu. Sesekali batuk, dan memegang
dadanya. Yaampun sepertinya pilekku tidak ada apa-apanya. Beliau menyuruh kami
membaca barisan ayat di buku. Kemudian dengan suara serak dan wajah yang sedang
kurang sehat itu beliau menjelaskan.
“Dan sesungguhnya para malaikat akan membentangkan
sayapnya kepada para pencari ilmu” (H.R Tirmidzi dan abu dawud)
“Kakak bersyukur ade-ade tetap datang liqo pada hari ini,
walau cuaca sedang gerimis. Cocok buat tidur lagi ya?” Murobbi tersenyum
sumringah di balik bibir pucatnya. Hatiku
berdesir mendengar kalimat itu.
“Ade-ade, hidayah itu mahal sekali harganya. Andai
hidayah itu bisa di beli, maka akan kakak beli untuk kakak bagikan kepada ade-ade. Tapi nyatanya tidak dek.
Hidayah itu mahal. Kakak tidak bisa menggerakan hati kalian kalau bukan Allah
yang melakukannya. Karena Hidayah itu milik Allah, kakak hanya bertugas
menyampaikan” Suara serak murobbi terdengar bertenaga, menghunjam hatiku.
“Yang menggerakkan langkah kalian untuk tiba di majelis
ilmu adalah Allah. Jika Allah tidak memperkenankan kalian dengan hidayah,
kalian tidak akan tergerak hatinya untuk sampai ke majelis ilmu. Orang-orang
yang mempelajari al-qur’an akan di naungi oleh
sayap malaikat, sayangnya kita tidak melihat sayap malaikat itu. Kalau
saja kalian bisa melihatnya. Kalian pasti akan berlomba-lomba dek untuk sampai
ke sini” selaput bening mengepul di mata
murobbi. Matanya berkaca-kaca. Aku sangat terenyuh.
“Untuk sampai ke majelis ilmu itu berat dek, kakak tahu
itu. Kakak pun merasakannya. Minggu pagi begini saat-saat yang enak untuk
istirahat, di tambah lagi gerimis di luar, benar-benar waktu yang tepat untuk menarik selimut.
Tapi kakak memilih kemari, karena kakak
tahu, ade-ade juga berhak atas hidayah itu. Jika kalian yang mencari ilmu saja
malas apalagi kakak yang kemari tanpa di bayar?. Rasa malas situ justru seharusnya lebih besar menimpa kakak.
Tapi satu hal yang selalu kakak jadikan motivasi, bahwa janji Allah untuk para
penuntut ilmu itu benar adanya. Allah akan memuliakan para penuntut ilmu”
Nafasku tercekat.
Ah Allah, kenapa yang di katakan murobbi tepat sekali? Yaampun aku merasa
tertampar. Kejam sekali aku tadi mengabaikan pesan murobbi. Bahkan menggerutu
sebal pada murobbi, pada orang yang menuntunku pada hidayah. Aku menunduk
dalam. Mencoba mencerna tiap kalimat yang di sampaikan murobbi tadi.
Murobbi benar, kalau saja Allah tidak menggerakkan hatiku
untuk kemari, maka aku tidak akan kemari. Boleh jadi, aku tidak bisa menemukan
alasan yang tepat untuk tidak liqo itu karena Allah ingin aku datang ke majelis
ini. Aku merasa terpukul sekali. Airmataku tiba-tiba meleleh,mengalir membasahi
pipi. Mulai hari itu aku berjanji tidak akan mengabaikan majelis ilmu. Aku
berjanji akan datang ke majelis ilmu apapun alasannya. Jika murobbi yang sedang
sakit saja tetap pergi, kenapa aku tidak?
Komentar
Posting Komentar