HIJAB
“Teman-teman, dosen engga ada,
boleh langsung balik!” Suara Ketua angkatan menggema di seantero kelas.
terdengar bak perintah seorang jendral perang kepada pasukannya yang langsung
disambut oleh gemuruh mahasiswa S1C prodi bahasa inggris. Pengumuman itu sekaligus menjadi cahaya
terang bagi mahasiswa untuk merefresh otak. Sebagian mahasiswa laki-laki
berbaur kemudian berbisik-bisik merencanakan tanding futsal dadakan. Yang
perempuan pun tak mau kalah, bagai selebritis dalam sinetron ala-ala kekinian,
mereka lantas berkerumun dan ngoceh sana-sini untuk janjian di mal-mal
terdekat. Nisa menghela nafas panjang. Tidak senang tapi tidak sedih juga.
Biasanya kondisi tidak ada dosen seperti ini bisa dimanfaatkannya untuk membaca
novel-novel baru yang di pinjam dari temannya atau melanjutkan tugas-tugas yang
berjibun. Tapi masalahnya -satu-satunya yang membuatnya kecewa- matakuliah yang satu ini adalah mata kuliah
favoritnya. Alasannya apalagi kalau bukan karena dosennya yang inspiratif? Tapi
tak masalah, Nisa memilih langsung balik
saja ke kosan. Tak tertarik menerima tawaran jalan-jalan ke mal ala-ala
perempuan kekinian.
“Udah pernah nonton film Alif Lam
Mim belum?” sambil merapikan meja,Nisa
lantas bertanya pada Adel yang duduk di depan tempat duduknya. “Belum, film
apaan tuh?” Adel menoleh dan mengernyitkan keningnya, penasaran.
“Keren deh filmnya. Kita nonton
aja yuk! Di laptop siapa kek gitu. Di kosan gue”
Gadis di depan Nisa menyikut dan memajukan dagu sebagai
isyarat mengajak teman sebangkunya. “Film tentang apaan?” Perempuan bertubuh
gemuk dengan kerudung paris berwarna abu-abu itu lantas menoleh dan bertanya.
“Udah ayok ikut aja, filmnya
tentang action gitu” Nisa merangkul tas dan berjalan keluar di ikuti oleh Adel
dan Eka.
“Gue ikuuuuut dooong” Elin Berteriak
dari ambang pintu. Menghentikan langka
Nisa,Adel dan Eka. Mereka lantas menoleh. Elin –dengan wajah mengiba- merutuki
Nisa karena tidak menawarkannya untuk ikut juga. “Gue pikir elo mau langsung
pulang?”
“Engga,lagian engga nanya dulu” Mulutnya
menggerutu sebal. Nisa menyeringai. Emang lebay
nih anak. Akhirnya Mereka berempat berangkat menuju ke kosan. Setelah lima
belas menit bergelung dengan hiruk pikuk kemacetan ibu kota ditambah lagi keadaan
angkot yang penuh sesak,mereka pun tiba di bibir gang menuju kosan tempat Nisa
tinggal. Setelah berjalan sekian meter dari bibir gang,
akhirnya Nisa,Adel,Eka, dan Elin tiba di
teras kosan Nisa. Nisa pun membuka
pintu ruangan yang berukuran 3x4 meter itu. “Ayo guys masuk. Beginilah kosan gue,tapi
santai aja engga ada tikus kok” Sambil melempar bantal-bantal yang berserakan
di atas kasur, Nisa lantas menyuruh mereka duduk di atas karpet.
“Pake laptop siapa?” Nisa duduk
selonjoran di atas karpet kemudian diikuti yang lain. “Punya gue aja nih” tanpa
di minta dua kali Adel mengeluarkan laptopnya dari dalam tas.
“Bentar gue ambil flashdisk dulu”
Nisa bangkit dan menuju meja belajar yang terdapat di sudut ruangan. Setelah
beberapa detik merogoh laci meja, akhirnya benda kecil berbentuk kapsul tempat
menyimpan data komputer itu pun ketemu.
“Nah ini dia” tanpa berlama-lama
Nisa langsung memasukkan flashdisk berbentuk kapsul itu ke laptop milik Adel.
Film Alif Lam Mim itu pun di putar
setelah beberapa menit Nisa mencoba menscan flashdisk yang ternyata ada
virusnya. Dan hanya dalam hitungan menit,mereka pun tenggelam dalam film action
tersebut.
“Baju lu gamis semua ya Nis?” Adel
bertanya tiba-tiba. Nisa terperangah. Ternyata dari awal tiba di kosan, Adel
mengamati kosannya dengan saksama. Di pinggiran tembok kamar memang ada deretan
gamis yang sengaja digantung karena belum di setrika. Gamis-gamis yang
berderetan itu nampaknya sudah menyita perhatian Adel. “ Oohhh itu.Engga juga
sih. Ada beberapa kaos juga yang suka gue pake kalau lagi di kosan”
“Lo engga gerah apa nis pake baju
kedombrongan gitu?” Eka menimpali. Elin ikutan tidak fokus menonton. Semua mata
tertuju pada Nisa. Menunggu jawaban.
“Ya enggalah, udah biasa” Nisa menjawab
santai.
“YaAllah kalau gue sih udah engga
betah nis, Kok elo engga kegerahan sih ?” Adel berbicara sambil bergidik. Nisa tertawa.
“ya engga lah. Engga gerah. Lagian kan gue
udah setiap hari pake yang begituan. Kayak misalnya gue juga engga betah pake
kerudung paris karena udah terbiasa pake
yang wolfis. Karena bahan wolfis itu lebih tebal bahannya, jadi engga
menerawang. Sama kayak kalian, kalian lebih betah pakai paris karena bahanya tipis jadi adem gitu kan?
Kalau prioritas gue bukan yang adem tapi yang baiknya bagaimana? Dan kenapa gue
bisa betah? karena awalnya juga gue terpaksa pakai yang tebal dengan alasan
gerah tapi karena terpaksa itu, lama-lama jadi terbiasa deh” mereka bertiga
manggut-manggut bersamaan. ;
“Gue pengen nis pake rok kayak
begitu, tapi gue engga betah” Eka manyun sambil meletakkan dagunya ke lutut.
“Gue juga nis” Elin angkat bicara
setelah beberapa saat dia hanya mendengarkan. “Keluarga gue sebenarnya pada
kayak elo gitu nis. Tapi gue yang malah risih liatnya. Menurut gue engga
usahlah pake yang begitu,yang penting kan pakai kerudung? Kalau yang sampai
panjang-panjang gitu mah lebih kayak ngikutin budaya arab”
Nisa memperbaiki posisi duduknya
dari yang semula berpangku pada lutut kini memilih posisi duduk tegap dan
menghela nafas panjang.
“Gue juga baru 3 tahun ini kali
pakai kerudung, bahkan latar belakang keluarga gue bukan ustadz”
“Masa si? Gue pikir keluarga lu
ustadz” Elin menimpali.
“Jadi sebenarnya kalian mau
nonton apa ngomongin Hijab nih?” Nisa bertanya sambil menyunggingkan senyum
hangat.
“ Cerita aja deh Nis,ceritain ke
gue kenapa lo pada akhirnya memilih berhijab kayak begitu” Adel yang menjawab
setelah sebelumnya mereka bertatapan. Dari kami berempat satu-satunya yang
tidak berhijab hanya Adel. Jadi wajar jika ia sangat antusias mendengar
pembahasan ini. Nisa merasakan ada aroma hidayah yang merasuki hati Adel.
Karena biasanya justru yang belum berhijab itu tak tertarik membahas terlalu
lama tentang apa yang sebenarnya tak berkenan di hatinya. Tapi Adel berbeda, ia
justru berkeinginan sekali mendengarkan.
“Cerita ini juga yang menjadi
alasan gue ngambil kos sebenarnya.
Mau dengar?” Nisa bertanya pada Adel,Elin dan Eka yang langsung di jawab dengan
gerakan mengangguk bersamaan. Nisa
berdehem, menunduk sebentar dan mencoba menata hatinya. Karena ini bagian yang
amat privasi dalam hidupnya, yang sebenarnya tidak ingin ia ungkit-ungkit lagi.
Wajah Nisa yang semula datar kini menampakkan air muka dingin,beku.
“ Gue anak satu-satunya. Gue
terlahir dari keluarga yang memiliki dua keyakinan.” Suara itu tiba-tiba saja
terdengar mengambang. Penuh nada yang kian menusuk,menghunjam batin. Dan hanya
Nisa yang tahu rasanya.
“ Ibu gue muslim, ayah kristen. Pada saat
menikah,ibu mengikuti ayah sebagai seorang kristen. Tapi pada saat itu orang
tua ibu tidak setuju dan mengusir ibu. Akhirnya ayah dan ibu tinggal di daerah
bekasi dan enggan balik ke jakarta”
“Di tahun kedua pernikahan, ibu
melahirkan gue. Ayah bahagia sekali pada saat itu. beliau menamakan gue Angel.
Tak lama setelah kelahiran gue, ibu dapat telepon dari nenek di jakarta. Nenek
gue sakit parah. Ia ingin putrinya kembali. Apalagi ibu gue anak perempuan
satu-satunya karena anak nenek gue yang lain adalah laki-laki. Akhirnya ibu pulang
bersama ayah ke rumah nenek sambil membawa gue yang belum berusia 40 hari.
setibanya di rumah nenek, nenek menangis tersedu-sedu sambil menciumi ibu gue
dan gue. Kakek gue yang saat itu sedang di samping nenek gue tiba-tiba berlutut
di kaki ayah supaya mengembalikan anaknya pada agamanya, muslim. Ayah gue iba
pada Kakek,akhirnya ia menyerahkan keputusan itu pada ibu gue. Ibu gue tahu
konsekuensi nikah beda agama. Ia tidak mungkin mengasuh gue dalam dua keyakinan
sekaligus. Tapi demi orang tuanya ia pun kembali kepada islam. Karena ia tahu
suaminya adalah kristen yang taat,ia tak akan bisa mengajaknya masuk islam”
Hening sejenak. Nisa menatap
kosong ke depan. Mencoba mengingat yang sebenarnya sakit untuk di ceritakan.
“Setelah bertahun-tahun kemudian,
ibu mulai merasakan kesulitan mendidik gue menggunakan agama yang mana? Ibu
mengajari gue lagu-lagu islami,mengajari gue cara membaca huruf hijaiyah dan
banyak hal tentang neraka dan surga. Di sisi lain, ayah juga melakukan hal yang
sama. Setiap hari minggu gue diajak sembahyang di gereja. Dan setiap hari
minggu juga ayah jadi sering bertengkar dengan ibu. Berdebat mau dibawa kemana
anak mereka? Saat itu gue masih kecil masih sekitar 5 atau 7 tahun. Gue engga
ngerti kalau tanpa gue sadari gue belajar dua kitab suci sekaligus. Dan keanehan
itu gue sadari saat gue mulai berusia 12 tahun. saat gue mulai paham kenapa
ayah tidak sholat? Ibu menjelaskan bahwa ayah gue bukan muslim dan menceritakan
semuanya kepada gue. Gue yang masih umur 12 tahun di biarkan memilih jalan gue sendiri, mau jadi kristen apa
muslim? Gue engga kasih keputusan itu sama ibu. Berhari-hari gue tertegun
sendirian di kamar. Menghindari dialog sama ayah dan ibu. Kondisi rumah gue
saat itu benar-benar kayak neraka. Ayah dan ibu meskipun menyerahkan keputusan
itu kepada gue tapi mereka tetap diam-diam mendoktrin gue untuk ikut ke siapa,
karena bagaimana pun juga agama adalah hal yang paling penting dalam hidup ini.
Dan gue engga bisa memilih dua keyakinan sekaligus. Alhasil setiap hari yang
gue dengar cuma cek-cok mulut ayah dan ibu memenangkan keyakinannya
masing-masing. Sampai pada usia 15 tahun. gue memutuskan untuk ikut paman gue
yang tinggal di jakarta,untuk melanjutkan SMA”
“Gue tinggal sama paman gue adik dari ayah. Beliau adalah muallaf.
Dan itu adalah alasan gue memilih tinggal sama paman gue yang muallaf untuk
mencari tahu kenapa pada akhirnya dia memilih menjadi muallaf. Di rumah paman,
paman tak sibuk mendoktrin gue dengan islam. Beliau tidak ikut campur masalah
aqidah gue”
“Tunggu deh nis, jadi sampai usia
15 tahun itu agama lu apa di akte? Atau kartu keluarga?” Eka memotong sejenak
cerita Nisa.
“Kristen. Ikut ayah. Tapi dalam keseharian gue melakukan praktek
ibadah keduanya, membaca Al-quran dan membaca Al-kitab juga. gila kan?” Nisa
menyeringai kemudian menghela nafas sejenak.
“Terus sejak kapan nama lo
akhirnya jadi Nisa?” Elin bertanya antusias.
“Sejak usia gue 17 tahun. setelah
dua tahun tinggal sama paman,diam-diam dari dalam kamar gue ikut-ikutan
mendengar tadabbur al-qur’an dari paman kepada anak-anaknya. Hati gue tersentuh
waktu paman bercerita tentang kandungan surat Ar-rahman dan al-mulk. Paman gue
pun suara tilawahnya enak banget. Makanya beliau selalu di suruh jadi imam
masjid. Dan kadang iseng-iseng gue ikut sholat di masjid tanpa sepengetahuan
bibi, karena biasanya gue sholat di kamar aja,gue malu kalau sampai bibi
nanyain doa sholat. Gue belum hapal semua” Nisa terkekeh sejenak kemudian
mengubah posisi duduknya lagi.
“ Pada saat sholat di masjid
itulah, gue merasakan hidayah menghujani hati gue. Gue engga kuasa nangis waktu
paman mulai membacakan surat Al-fatihah. Gue hayati tiap-tiap kalimat Allah
tersebut. Karena walau gue sering dengar ibu membaca di rumah dulu, gue engga
dapat feel nya. Saat sholat di masjid gue tersentuh mungkin karena gue pernah
dengar tadabbur surat Al-fatihah oleh paman dari dalam kamar. Dan di detik itu
juga,gue mulai memahami kenapa pada akhirnya paman memilih islam sebagai
agamanya, dan Al-quran sebagai pedomannya” wajah Nisa memerah . selaput bening
menutupi mata Nisa yang lambat laun menciptakan genangan yang menumpuk di
pelupuk mata.
“Setelah hari itu, gue meminta
izin pada paman untuk mengajari gue tentang islam, mengganti nama gue hingga
pamanlah yang memberi nama Annisa. Di rumah paman gue mulai belajar tentang
hijab. Dan bertanya-tanya emang harus pakai rok gitu ya? Bibi gue lah yang
menjelaskan Tentang hakikat hijab sebenarnya, bahwa Allah memerintahkan
muslimah berhjab bukan sebagai aksesoris semata,melainkan sebagai penutup dan
pelindung kaum wanita”
“Paman pernah menjelaskan tentang
ujian hidup, bahwa sejatinya setiap orang yang mengaku beriman akan di uji. Dan
disanalah akan terlihat mana orang-orang yang beriman dan mana yang munafik. gue
menanggapi hal tersebut dengan was-was, kenapa gue engga diuji? gue sudah
mengaku beriman dan sekarang gue mantap menjadi seorang muslim. gue pun sudah
berhijab. Tapi gue engga merasa mendapatkan ujian”
“Dan betul saja, ujian itu pun
datang. Gue dapat kabar bahwa ibu gue
terkena kanker serviks. Di tambah lagi magh yang kronis. Ibu sakit parah, dan
di situlah ujian keimanan itu dimulai. Setelah berpisah selama dua tahun, ayah
dan ibu terkejut melihat penampilan gue yang berhijab panjang dan bergamis
goboy. Gue menemui mereka saat di rumah sakit, tempat ibu dirawat. Ayah dan ibu
merespon kedatangan gue dengan ekspresi yang berbeda-beda, ibu gue bahagia
banget bahkan beliau sampai menangis memeluk dan mencium gue. Tapi beda dengan
ayah, ayah menatap gue dingin. Gue meraih tangannya dan langsung di tepis
dengan marahnya. Ayah engga suka melihat gue berhijab”
“dan di detik terakhir ibu gue
me..” nafas Nisa tercekat. Airmata yang sejak tadi menggenang itu pun kini
sempurna mengalir di pipi Nisa.
“Sabar nis, kalau engga kuat
engga usah di lanjutin Nis” Elin mengusap pundak Nisa.
“Engga gue kuat kok, di detik
terakhir sebelum ibu gue meninggal, ibu gue bilang maaf karena tidak bisa
menjadi ibu yang soleha untuk gue. Beliau nangis-nangis minta maaf. Ayah engga
ada saat itu, beliau engga mau ngeliat gue lagi. Sebelum akhirnya nyawa ibu
benar-benar pergi, ibu menyuruh gue menuntun ayah pada hidayah, beliau menyuruh
gue tegak di jalan ini,karena percayalah setelah ini ujin sebagai seorang
muslim akan bertubi-tubi menyapa kehidupan gue. Dan itu benar. Pada hari itu
gue kehilangan ibu tapi di saat yang
bersamaan gue mendapatkan pelajaran tentang kehidupan dan makin
mempertebal keyakinan gue untuk tetap menjadi seorang muslimah sejati”
“Ayah lu akhirnya gimana nis?” Suara Adel terdengar
serak,ternyata dia juga menangis mendengar cerita Nisa.
“Ayah gue sekarang udah meninggal
juga. dan beliau meninggal sebagai seorang muslim sejati”
“Kok bisa? Bukannya beliau masih
kristen?” Elin bertanya antusias
“Dalam kehidupan ini, gue keliru
menyadari satu hal. Bahwa hidayah itu milik Allah. Mau sejumpalit apapun gue
mengajak ayah pada islam, tetap hidayah adalah hak mutlak bagi Allah. Dan tugas
gue sebagai anaknya, hanyalah mendoakan yang terbaik untuk ayah. Ayah gue meninggal setelah terjadi kebakaran
besar-besaran menimpa perusahaannya. Beliau meninggal setelah menyelamatkan seorang
muslimah taat, Sekretarisnya yang baru 1 tahun kerja. Ayah ternyata diam-diam
tersentuh pada islam karena tindak tanduk muslimah tersebut. Hingga saat
dirinya terdesak di ruangan yang penuh dengan kepungan api, ia mendengar suara
seorang wanita minta tolong, dan suara itu berasal dari muslimah taat yang
terjebak di ruangan. Ayah memilih balik ke dalam melindungi muslimah itu dari
api hingga dirinya sendiri yang tertimpa bongkahan kayu yang terbakar api. Ayah
gue masih bernyawa pada kejadian itu. Beliau kritis,dan di bawa ke UGD. Muslimah
taat itulah yang membawa ayah ke rumah sakit. Beliau juga yang menceritakan
betapa heroiknya Ayah. Gue menemui ayah di rumah sakit saat kaki ayah gue sudah diamputasi. Saat tiba
ruangan tempat ayah di rawat, gue langsung mencium tangan ayah. Ayah menatap
gue jeri. Ia kesakitan,tapi hatinya lebih sakit lagi. dengan suara seraknya ia
berkali kali minta maaf pada gue. Dan yang membuat hati ini amat kesakitan pada
saat ayah bilang maaf ayah tidak bisa mengarkan
al-quran padamu Annisa.” Nisa berhenti sejenak, mencoba menata hatinya.
“Itu adalah pertama kalinya ayah
panggil gue dengan nama muslim gue, Annisa. Beliau pun mencium kening gue
dengan penuh kasih sayang. Kemudian berbisik menyuruh gue istiqomah. dengan suara
bergetar dan terbata-bata beliau mengucapkan asyahadu ala illaha ilallah wa
asyhadu ana muhammadurrrasullullah kemudian memejamkan mata sayunya yang tak
pernah kembali terbuka” Tangisan Nisa pun tak bisa dielakan lagi. Nisa menutup
wajahnya dengan telapak tangannya. Menangis menderu-deru. Mengingat kejadian
yang sangat mengiris hatinya, rasa rindu itu menyergap batinnya. Mengepung
ingatan-ingatan yang hampir luruh tapi kini sempurna kembali membuatnya ingin
kembali merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh dengan
keyakinan yang sama dan merasakan nikmatnya di bimbing oleh orang tua.
“Sejak saat itu gue kembali
kerumah orang tua gue,dan memilih tinggal di kosan setelah masuk universitas.
Gue menitipkan rumah pada keluarga ibu. Gue bertekad menjadi muslimah sejati.
Dan jadi kebanggan Ayah dan ibu ”
Ruangan 3x4 itu berubah penuh dengan suara tangisan
Nisa,Adel,Eka dan Elin.
“Gue malu sama lu Nis, Lu tegar
banget. Gue ma..mau pake hijab Nis” Adel berujar sambil terisak di hadapan
Nisa. Nisa pun memeluk Adel. Disusul oleh Elin dan Eka.
“Ajarin kita juga Nis, ajarin
kita jadi Muslimah sejati nis”
“Kita belajar bareng ya”
Empat gadis itu pun saling
melempar kasih sayang dengan sama-sama berjanji memperbaiki diri. Momen-momen
ini tak akan mereka lupakan, dan tanpa mereka sadari sejak hari itu mereka jadi
4 sejoli bervisi dan misi yang sama yaitu SURGA dan KETAATAN.
Komentar
Posting Komentar