SEPOTONG KISAH DI PANTAI SAMPUR



Bagaimana rasanya naik kapal laut?
Pertanyaan itu sering kali muncul di kepalaku. Dan ini entah pertanyaan yang ke berapa yang ku ajukan pada Mamak, hingga akhirnya Mamak menjawab kesal.
“Goreng saja yang benar pisang-pisang itu, Ainun. Bu Fajri mau kuenya di antar sore ini. Jangan buat pertanyaan konyol macam bagaimana rasanya naik kapal laut segala” Mamak marah-marah dengan tangan lihai mengaduk-aduk adonan kue.
Aku bersungut-sungut. Apalah susahnya menjawab Mak? Aku kan mau dengar saja. Maka aku pun memilih diam, melanjutkan menggoreng pisang-pisang yang dipesan Bu Fajri.
Aku adalah anak sulung dari 7 bersaudara. Kau tahu? Menjadi anak sulung dari 7 bersaudara itu berarti kau harus punya bahu sekokoh baja. Tahan banting, dan pantang menyerah. Aku melakukan aktivitasku sehari-hari seperti gadis normal kebanyakan. Menonton layar tancap di rumah Pak Haji Mamat, berdandan-dandan ria atau mengunjungi pasar malam. Hanya bedanya, aku harus membawa semua  adikku saat bermain. Merepotkan? Tentu saja! tapi aku menikmatinya. Kalau aku memikirkan bagaimana caranya menjaga 6 adik sekaligus, bisa streslah otakku. Maka aku nikmati saja.
Baiklah, tentu saja ini bukan cerita tentang adik-adikku. Ini adalah murni kisah tentangku. Sepotong kisah di dermaga.
***

Kisahku ini dimulai pada pertengahan tahun 1970. Tepatnya pada hujan pertama di bulan Juni yang mengguyur Batavia. Dan itu adalah hari pertama aku bertemu dengannya, Baharudin Akmal, Laki-laki gagah asal Deli, Medan.
“Ainun, Apa kau selalu membawa adikmu saat bermain?” Bang Akmal bersungut-sungut saat aku memintanya menggendong si bungsu, Dina.
“Iya, memangnya kenapa? Kan aku sudah bilang padamu, jangan dekati aku, nanti kau susah sendiri. Dengar aku ya Bang Akmal, adikku banyak. Dan Mamakku itu sibuk sekali, mengurus dagangan, mengurus kebun Melinjo tetangga, belum lagi memikirkan biaya sekolah adik-adikku” Aku menahan tawa. Sedikit kasihan sebenarnya pada laki-laki yang jelas baru dua minggu ku kenal itu.
Kami bertemu di pasar. Bang Akmal diam-diam menaruh perhatian padaku, sibuk benar mengirimkan surat untukku yang dititipkan pada Bu Tina, pemilik warung kopi di Pasar. Sejak lulus Aliyah, aku memang sering bergantian dengan Mamak berjualan Nasi Uduk di Pasar. Dan kejadian dramatis itu pun terjadi. Saat Bang Akmal tanpa sengaja menemukan dompet hasil daganganku yang terjatuh. Aku yang saat itu tidak menyadari dompet yang terjatuh tersebut, dengan santai memborong belanjaan untuk dagang besok. Lantas paniklah aku saat sadar dompet itu sudah tiada. Bang Akmal datang layaknya hero, menyibak kerumunan orang-orang yang menontonku yang sedang menangis di depan toko dan memberikan dompet itu.
Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian heroik di depan toko tersebut.Awalnya, aku tidak memperkenankan laki-laki mendekatiku di pasar. Kau tahulah bagaimana pekatnya kehidupan pasar. Tapi Bang Akmal tidak menyerah mengirimkan surat untukku,entah apa isinya surat itu, aku belum pernah membacanya lebih tepatnya tidak mau. Bang Akmal hampir setiap hari menghampiri tempat aku berdagang. Melakukan kegilaan macam pura-pura bertanya “Dimana MCK?” padahal siapa yang tidak tahu betapa dekatnya kios buah-buahan tempat dia bekerja dengan MCK? Atau pura-pura membeli nasi uduk dengan porsi melebihi batas. Hingga aku mendapatinya muntah-muntah di belakang MCK karena kebanyakan makan.  Baru kali ini aku bertemu dengan laki-laki yang tak bosan-bosannya berkunjung ke tempat dagangku hanya untuk membeli nasi uduk dan bertanya kabarku.
Seperti tadi siang, Bang Akmal yang sudah mulai akrab denganku meminta izin mengunjungi rumahku usai berdagang. Aku jelas menolaknya. Menjelaskan betapa sibuknya aku di rumah atau betapa galaknya Mamak. Tapi Bang Akmal tidak menyerah. Ia malah membuntutiku pulang, dan lihatlah sekarang ia sedang duduk terkulai karena kelelahan menjaga Dina dan Santi, dua adikku yang masih balita.
Setiap jam 4 sore, aku selalu mengajak bermain Dina, Santi, Sobir dan Zali di teras. Membiarkan mereka bermain lompat tali, gobak sodor atau tapak gunung. Sedangkan aku menyelesaikan anyaman keranjang yang di pesan tetangga. Berhubung ada Bang Akmal, Aku memintanya menjaga dua adikku yang masih butuh diperhatikan, tapi ternyata Bang Akmal sudah payah duluan.
“Kau kenapa Bang?” Aku bertanya pada Bang Akmal yang sedang merebahkan bahunya di dinding. Bang Akmal langsung terperanjat saat menyadari aku sedang memperhatikannya.
“Tidak apa-apa Nun. Biasanya kapan adik-adikmu berhenti main?” Bang Akmal mengubah posisi duduknya, duduk bersila.
“Paling sebelum maghrib Bang. Kau ingin pulang Bang? Apa tidak ada orang rumah yang mencarimu? Kau sudah di sini sejak siang Bang.”
Mendengar rentetan pertanyaan yang keluar dari mulutku, wajah lelah Bang Akmal berubah menjadi sumringah, ia mungkin merasa dirinya di perhatikan.
“Kau khawatir dengaku Nun?” Mata Bang Akmal membulat, senang benar dia dengan apa yang tadi ku katakan. Aku yang tengah menganyam keranjang segera menghentikan pekerjaanku, melotot gemas ke arah Bang Akmal.
“Aku hanya bertanya, lagi pula apa susahnya menjawab” Aku berkilah. Sedikit kikuk sebenarnya.
“Tidak akan ada yang akan mencariku Nun. Aku kan belum menikah, dan aku merantau dari Medan Nun, tidak ada keluargaku di sini” Bang Akmal kembali merebahkan bahunya di dinding.  Mendengar kata ‘Merantau’ pertanyaan itu pun muncul lagi di kepalaku.
“Kau merantau Bang? Apa kau pernah naik kapal laut?” Aku kembali menghentikan gerakan tanganku yang lihai menganyam keranjang. Bang Akmal sedikit terkejut mendengar nada bicaraku yang mendadak antusias.
“Tentu saja Ainun. Setiap ke Medan aku naik kapal laut” Bang Akmal mengangkat bahunya, seakan naik kapal laut itu memang hal yang biasa.
“Kau belum pernah naik kapal laut?”Bang Akmal bertanya, seperti tahu apa yang sedang ku fikirkan.
“Belum” Aku menjawab singkat, menduduk dalam.
“Kau mau ku ajak naik kapal laut?” Suara itu terdengar heroik, kalimat yang sungguh membuatku ingin lompat saja mendengarnya.
“Apa? Iya, aku mau” Mataku membulat, seperti tidak perlu di fikirkan lagi apa yang harus aku katakan. Tapi rasa bahagia itu seperti lenyap saat ingat dengan adik-adikku, dan Mamak. Kalau aku main sehari saja, siapa yang akan membantu Mamak? Siapa yang akan menjaga adik-adikku? Maka aku pun menduduk lagi, berubah fikiran.
“Tidak deh, aku tidak bisa”
Bang Akmal yang duduk di seberang ku melipat dahinya, keheranan.
“Loh kenapa Nun?”
“Tidak bisa Bang, kalau aku pergi sehari saja, pasti Mamak akan kerepotan mengasuh adik-adik. Lihatlah, sudah sore begini saja Mamak belum kembali dari kebun Melinjo. Aku yang harus mengurus rumah Bang jika Mamak tidak ada, Bapak kami telah meninggal maka aku harus bisa dewasa dan memahami situasi” Aku hampir saja menangis. Tapi melihat wajah Bang Akmal yang antusias mendengarkan, membuatku ingat lagi, bahwa aku tidak boleh menangis di depan orang lain. Aku tidak ingin dinilai lemah.
“Hmm baiklah Nun kalau begitu ceritanya, aku tidak akan memaksamu” Bang Akmal menghela nafas pelan, tapi cukup terdengar olehku yang duduk di seberangnya.
“Tapi kau mau kan menceritakan bagaimana rasanya naik kapal laut? Ceritakan padaku bagaimana indahnya pantai bang” Aku mendesak. Keranjang anyaman yang hampir jadi itu ku letakkan begitu saja di lantai.
“Baiklah, kalau kau yang memintanya, mana bisa aku menolaknya?” Bang Akmal tersenyum lebar. Aku tersipu, seperti ada rasa yang tiba-tiba melesak ke dalam hati.
 “Kau pernah mendengar cerita tentang Pantai Sampur Nun?” Bang Akmal memulai bercerita, saat itu juga aku baru menyadari betapa menawannya mata Bang Akmal.
“Nun, apa kau dengar apa yang aku katakan?” Bang Akmal mengulang pertanyaannya, melihat ku yang termenung menatap wajahnya.
“Iya iya aku pernah dengar. Aku pernah dengar betapa cantiknya pantai itu. Lanjutkan bang, ceritakan padaku bagaimana indahnya Pantai Sampur?” Aku terkesiap, lantas antusias sekali ingin mendengar lanjutan kisahnya.
“Pantai Sampur jadi wisata favorit kota Batavia Ainun. Pribumi atau noni-noni belanda dulu sering menghabiskan waktu mereka di sana. Bermain-main air, mandi atau sekedar berjemur menggelar tikar. Menghabiskan waktu di Pantai Sampur tidak mengeluarkan uang seperserpun. Kau bahkan bisa mengajak adik-adikmu ke sana. Pantai Sampur memang lebih terlihat seperti dermaga. Tapi menghabiskan waktu senja di sana seperti menyaksikan panorama magis alam semesta, saat-saat jingga pecah di belantara angkasa. Itu sunguh indah Ainun”
Bang Akmal berhenti sejenak. Wajahnya beralih menatap kerumunan anak-anak yang sedang asik main tapak gunung. Ada Zali, Sobir, Dina dan Santi di sana. Dua adikku yang lain mungkin kini sedang bermain di RT sebelah. Jadi tidak terlihat. Aku tidak begitu khawatir karena usia mereka sudah cukup besar untuk di lepas main sendiri.
“Lalu apa lagi Bang?” Aku bertanya antusias.
“Ada banyak hal tentang Pantai Sampur yang tidak bisa hanya diceritakan lewat lisan,Ainun. Kapan-kapan kau izinlah pada Mamakmu,ajak Zali, Shobir, Santi dan Dina bersamamu. Aku yakin Mamak kau akan mengizinkan kau pergi. Kau harus melihat dunia ini, jangan hanya berkutat di pasar saja” Bang Akmal membujuk. Seperti tahu apa yang ku rasakan selama ini, bahwa aku sangat ingin ke sana.
“Akan aku coba Bang”
Sayup-sayup suara Adzan maghrib terdengar. Aku segera membereskan peralatan menganyam keranjang, kemudian memanggil adik-adiku untuk segera membersihkan badan dan sholat maghrib. Dua adikku Ghofur dan Ikhsan telah tiba di rumah sebelum aku beranjak untuk mencarinya di RT sebelah. Bang Akmal izin sholat di masjid yang tak jauh dari rumahku, sekaligus izin pamit pulang. Saat melepas Bang Akmal yang hendak berangkat ke masjid, pertanyaan itu muncul lagi, bahkan makin bertambah besar. Bagaimana rasanya naik kapal laut? Bagaimana rasanya berjalan di atas pasir-pasir lembut? Bagaimana rasanya menikmati senja di dermaga bersama orang yang membuatmu pertama kali jatuh hati? Aku tak tahu, tapi aku akan segera tahu.
***
Kalian pernah mendengar kisah SAD ENDING? Kisahku ini sebenarnya tidak berakhir baik. Tapi akan aku coba untuk tetap menceritakannya.
Mamak tidak mengizinkan aku pergi. Akhir-akhir ini banyak tetangga yang memesan kue pada Mamak. Aku menangis. Aku sangat ingin melihat dunia luar, tapi seperti tidak bisa. Dan lagi-lagi Bang Akmal hadir bagai hero dalam kehidupanku. Bang Akmal yang meminta izin pada Mamak. Apa di izinkan? Tidak. Tapi Bang Akmal mengatakan ini adalah hari terakhirnya di kota ini. Ia harus segera pergi ke kampung halaman di pulau seberang. Maka ia memutuskan menyuruh Mamak libur berdagang hari ini saja. Sebagai gantinya, Bang Akmal membayar seluruh kerugian karena Mamak terpaksa menolak pesanan yang datang. Aku tidak tahu uang dari mana Bang Akmal untuk membayar kerugian tersebut. Ia hanya mengatakan “Adakalanya kau harus membayar sangat mahal untuk membeli kebahagiaan, termasuk uang kerja mu seharian” kemudian tersenyum dan berlalu.
Setelah di izinkan Mamak, maka aku pun berangkat bersama Bang Akmal menuju Pantai Sampur, tepat pada akhir tahun 1970. Itu sungguh saat-saat terbaik dalam hidupku. Dimana seluruh pertanyaan sepele yang aku tanyakan pada diri sendiri itu terjawab.
Tapi sayangnya, aku harus menukar jawaban dari semua itu pertanyaan itu dengan pertanyaan yang lebih besar. Bahkan aku tak pernah bisa menemukan jawabannya.
Bang Akmal mengajakku berlarian di pinggir pantai. Benar kata Bang Akmal, ada keindahan di pantai Sampur yang tidak bisa di katakan oleh lisan. Aku harus kemari. Maka aku telah disini, berlarian bersama air-air yang menggelitik jemari kakiku, menaikki kapal-kapal yang sedang menepi di dermaga, menyaksikan senja yang menawan bersama orang yang membuatku pertama kali jatuh hati.
Tapi  itu sungguh hari terakhirku bersama Bang Akmal. Bang Akmal berangkat hari  itu juga melalui pelabuhan Sunda Kelapa. Ia tidak banyak berkata-kata. Seperti tidak ingin menanggung janji. Saat itu aku baru sadar, pertanyaan besar itu mulai terlihat di permukaan. “Kapan cinta sejatiku akan kembali?”
Tapi ia tak pernah kembali. Pertanyaan itu tak pernah terjawab, hancur lebur bersama hancurnya keindahan Pantai Sampur pada tahun 1974 yang berubah menjadi gudang peti kemas.
Suatu hari, orang-orang akan mengingat pantai Sampur sebagai obyek wisata yang menawan. Tapi bagiku, Pantai Sampur adalah tangan Ilahi yang mewujudkan mimp-mimpi sekaligus memisahkanku dengan Baharudin Akmal, laki-laki asal Deli, Medan.                                                      posted by : Cahaya Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Sudut Cahaya