JILBAB,GEBETAN, dan SEKEPING AMPUNAN

"Kenapa sih lo betah banget engga dandan kalau ke kampus?" Gadis di sebelahku akhirnya nyeletuk asal setelah sekian lama memandangiku yang tengah merapikan kerudung di depan cermin. aku menyeringai. tak langsung membalas pertanyaannya.
"Emang engga takut ga laku?" dia bertanya lagi. kini aku menoleh ke arahnya. "Engga" aku menjawab asal.
setelah merapikan kerudung aku bergegas merapikan buku dan melangkah keluar kamar. sudah hampir 3 bulan kami tinggal di bawah atap kosan. tidur,makan,dan mengerjakan tugas kampus berdua. kami berdua berhijab. saat pertama kali menemukan kosan dan bertemu dengannya hal pertama yang aku syukuri adalah teman sekosanku berhijab. 3 bulan bersama cukup bagi kami untuk saling memahami karakter dari kami masing-masing. awalnya dia biasa saja dengan penampilanku yang berhijab panjang serta gamis goboy yang selalu ku kenakan kemana pun aku pergi keluar kos. sampai pada hari ini, ia akhirnya menanyakan pertanyaan yang aku yakin sudah sejak lama ingin ia tanyakan.
aku meninggalkan teman sekamarku itu di kamar. aku  berangkat lebih dulu ke kampus karena ada acara seminar. " nanti aja ya ngobrolnya" aku tersenyum sambil berlalu dan menutup pintu kamar meninggalkan teman sekamarku itu tergugu di atas kasur.
-----------------
Seperti biasa aku pulang kemalaman. bukan hanya karena deadline tugas kampus dan kegiatan HIMA yang menyita waktukku tapi juga pekerjaan tambahan yang sengaja aku ambil untuk tambahan biaya hidup. sudah pukul 10 malam. tak ada angkot, dan seperti biasa aku harus menyusuri jalan untuk sampai ke kosan. butuh sekitar 15 menit jalan dari bibir gang menuju kosan. di persimpangan mataku samar-samar melihat muda-mudi yang tengah cek-cok  mulut. dari pakaian dan tas yang ada di bahunya sepertinya ia mahasiswa sepertiku. aku tak begitu menghiraukannya. apalagi ini jam sepuluh malam dan aku harus bergegas sampai ke kosan. badanku butuh kasur.
setelah sampai di kosan, kamar berukuran 3x4 itu masih gelap. pasti temanku belum pulang juga. aku tak begitu menghiraukan. aku langsung bergegas mengambil pakaian bersih dan masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. setelah kembali ke kamar mataku langsung terbelalak melihat seorang gadis tersungkur di atas kasur dengan memar di wajahnya sambil menangis tersedu-sedu. ia meringis kesakitan. "astaghfirullah kamu kenapa ra?" tanganku meraba wajah memarnya. Ara hanya menangis. tak menghiraukan pertanyaanku. aku lantas mengambil air minum di galon dan ku suguhkan padanya. "ini minum"
Ara seperti memang membutuhkan air langsung duduk di hadapanku. meminum air putih itu sampai habis setengahnya. aku menatapnya prihatin. jilbabnya sudah tak bisa di bilang hijab. karena rambutnya berseliweran keluar dari kain penutup kepala itu. di bibirnya ada percikan darah. Ara menghela nafas sambil terisak. aku langsung mengambil air hangat dan kain kecil untuk mengompres memar di wajah Ara.
"Gue masih sayang sama dia" tanpa di tanya ia langsung memulai bicara.
"Sayang sama siapa?" aku bertanya polos sambil terus membasuh memar di wajahnya.
"Pacar gue. tadi kita berantem gara-gara dia ketahuan selingkuh tapi engga ngaku. kita udah pacaran lebih dari 4 tahun. gue kurang apa coba? gue sayang banget sama dia. bahkan gue udah di kenalin sama orang tuanya. gue rela ngelakuin apapun buat dia. tapi dia begitu. gue engga nyangka hubungan ini kandas sama hal sepele kaya gini. gara-gara cewek kurang ajar". mata ku meraba-meraba udara. jangan-jangan yang samar-samar aku lihat di jalan tadi?. aku tak bergeming. hanya terus membasuh memar di wajahnya.
"Gue udah engga perawan Res" suara seraknya langsung membuatku terkesiap. apa? engga perawan? aku menelan ludah dan menghentikan tanganku. "Oke,lo boleh kaget. lo juga boleh jijik bahkan lo boleh banget hina gue Res" tangisnya meledak. kerudung di kepalanya ditarik begitu saja dan menyisakan ramnbutnya yang tergerai berantakan. aku menghela nafas.
"Aku engga akan melakukan itu Ara. Kita ini sesama muslim. dan sesama muslim itu  bersaudara,mana ada saudara yang jijik sama saudaranya?"
"Kenapa si Res? kenapa elo selalu baik? kenapa hidup lo tuh sempurna banget. adem ayem engga ribet kayak hidup gue? kenapa Res kenapa?" wajah memar Ara kini terlihat merah padam di hadapanku. airmatanya terus mengalir membasahi wajahnya. aku menunduk,memejamkan mata sejenak dan merangkul Ara perlahan-lahan. tubuhnya yang enggan di peluk lamat-lamat menerima dekapan tanganku. kini ia menangis di pelukanku.
"Kenapa Res? dari awal gue kenal sama lo,gue udah iri sama lo. tapi gue engga bisa kayak elo Res. gue ini engga pantes jadi temen sekamar lo"
"Takdir itu rahasia Allah Ara. di dunia ini engga ada yang kebetulan. semua sudah secara apik Allah rencanakan untuk hambaNya. Aku bertemu kamu itu sudah ketentuan Allah. dan yang harus kamu tahu.Allah tidak pernah sekedar iseng mempertemukan orang-orang di kehidupan ini. pasti ada maksud dan tujuannya. dan sayangnya sedikit sekali orang-orang yang mau memahami hal sesederhana ini" aku lantas mengusap rambut Ara yang tergerai. Ara masih terisak di pelukanku.
"Takdir? pertemuan gue sama cowok gue? gue yang terlahir bejat begini? apa semua itu takdir? kenapa Allah engga adil Res? kenapa takdir lo baik takdir gue engga?"Ara melepaskan pelukanku. sekarang kami duduk berhadapan. aku mencoba merapikan posisi dudukku.
"Iya itu semua takdir. tapi sebelum aku jelaskan kenapa itu semua bagian dari takdir. akan aku jelaskan tentang hidupku yang kau nilai baik ini. Aku anak pertama dari 4 bersaudara ra. Adikku 3, 1 laki-laki dan 2 lagi perempuan. Ayah kami sudah meninggal saat usiaku 10 tahun. kami berempat masing masing hanya terpaut umur 3 tahun. adikku yang nomer 1 sekarang duduk di kelas 3 SMA. dia tinggal di kampung bersama  adikku yang lain. Aku merantau ke ibu kota karena aku berhasil mendapatkan beasiswa di sini. Alhamdulillah. Kau tahu ra? saat ini ibuku menderita penyakit gagal ginjal yang menguras uang kami sekeluarga. aku dan adikku berjuang agar bisa terus sekolah dan membiayai obat ibu. semenjak ayah meninggal. hidupku hancur sekali ra, aku terancam putus sekolah. tapi Alhamdulilah Allah masih berbaik hati  mengijinkanku bersekolah hingga saat ini melalui jalan lomba Olimpiade MIPA tingkat nasional. aku berhasil masuk SMP negeri tanpa di pungut biaya seperserpun pada saat itu. semenjak itu aku selalu memotivasi adik-adikku untuk terus belajar. dan bekerja keras. terlahir sebagai anak orang miskin memang takdirku. tentu saja. tapi ada hal yang harus kau tahu ra. takdir itu masih bisa di rubah dengan doa dan usaha. kalau pada saat itu aku memilih menjadi gelandangan mungkin takdirku saat ini ya gelandangan. tapi pada saat pilihan itu menghampiriku aku memilih begini. bekerja keras sekolah sambil berjualan daun pisang. aku belajar di kebun seusai mengambil daun pisang milik juragan pisang di kampung kami. itu pilihanku. tapi disitulah takdir yang aku pilih. Allah sengaja memberikan kita pilihan untuk menguji sejauh mana iman kita ra. saat ini pun walau aku sudah dapat beasiswa. aku masih harus tetap bekerja. agar uangnya bisa ku kirim untuk adikku di kampung. kau tahu sendiri kan? aku pergi terlalu pagi dan pulang terlalu malam. apa kau masih berkenan mengatakan hidupku ini adem ayem saja ra? tidak ra. hidup ini penuh dengan ujian dan fatamorgana. dan Allah menyajikan itu sesuai dengan kadar kemampuan kita"
kamar berukuran 3x4 itu lenggang. hanya tersisa suara isak tangis Ara.
"Kau masih lebih baik ra. Kau tak perlu bekerja paruh waktu untuk membiayai kehidupanmu. Kau masih punya orang tua lengkap. Dari setiap kita ketika hendak mengutuk langit,Cobalah dulu syukuri hidup ini. Agar kau tak terjebak di jalan yang salah".
Ara tak bergeming. Ia tetap terisak dan berusaha menyeka airmatanya.
"Apa gue masih bisa jadi seperti lo Res?" Suaranya terdengar lirih tapi tetap bertenaga.
"Kau tak perlu jadi sepertiku ra. Kau tetaplah jadi dirimu sendiri. Syariat tidak memaksamu menjadi orang lain. Hanya membatasi agar kita tidak jadi hambaNya yang melampaui batas". Aku kembali meraih bahu Ara dan mengelusnya perlahan,berharap bisa meredam kesedihan yang menghujam batin Ara.
"Jadi karena itu lo engga pernah dandan kalau ke kampus? Di tempat lo kerja pun lo engga di paksa dandan atau berpakaian menarik gitu? Soalnya pakaian lo cenderung seperti (maaf) ibu-ibu pengajian res". Dari nada bicaranya kini Ara sudah mampu menata emosinya.
"Dandan? Aku males aja. Lagi pula kan yang penting itu rapi bukan cantik. Kalau di tempat kerja,aku ini kan kerja di tempat bimbel. Jadi ya engga terlalu di prioritaskan masalah make up. Yang penting itu rapi dan sopan".
"Apa untuk jadi seperti lo gue harus mulai dari ga perlu dandan kalau ke kampus gitu res? Terus bagaimana dengan mantan kurang ajar itu? Dia pasti bahagia banget liat gue hancur apalagi si cewek kurang ajar yang udah menghancurkan hidup gue ini,dia pasti bahagia banget" Emosinya kembali meningkat ketika menyebut-nyebut pacarnya.
"Kau harus tahu hakikat berubah dulu ra. Hakikatnya ada di niat ra. Kalau niatmu lurus untuk mencapai ridho Allah. Allah yang akan menuntunmu memilih jalan yang baik" . Ara hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung.
"Ridho Allah? Lo harus kasih tahu gue res apa aja yng bikin Allah ridho. Apa gue harus berjilbab panjang kayak elo biar gue bisa nemuin laki-laki yang lebih baik dari cowok kurang ajar yang udah nodain gue?"
"Hmm.. Mungkin bisa di mulai dari situ. Tapi kau harus ingat ra. Mau mati-matian kau berubah jadi baik tapi hanya karena ingin balas dendam dengan mantanmu,kau tetap takkan bisa menemukan hakikat berubah ra. Tadi di awal sudah ku katakan. Semua berawal dari niat yang tulus semata-mata karena Allah".
Ara menatapku lamat-lamat. Kemudian menunduk dan menghela nafas panjang.
"Jodoh lo pasti baik Res. Jilbab lo panjang,dan lo itu pinter rajin ibadah pula. Dan lo masih suci" nafasnya tercekat kemudian airmata kembali mengalir di pipinya.
"Gue pernah denger salah satu ayat di al-qura'an waktu zaman SMA dulu. Kalau laki-laki baik cuma untuk perempuan baik. Gimana pula gue ra? Hidup gue udah hancur. Udah engga ada harganya. Mau di panjangin hijab gue kayak apaan juga gue tetap engga akan bisa balik seperti semula" tangisnya pecah lagi. Aku menatap prihatin.
"Siapa bilang? Siapa bilang kamu engga bisa suci lagi? Allah sendiri yang bilang ra,Orang-orang yang bertaubat kemudian menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya doanya akan diampuni ra. Dosa kita mungkin menggunung,tapi ampunan Allah itu melangit".
hati Ara bergetar. Kini bukan aku yang merangkulnya Ara langsung menghambur ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya.
"Ajarin gue tobat Res. Ajarin gue berhijab yang benar,ajarin gue tentang pergaulan secara islami,gue mau memperbaiki diri Res. Ajarin gue" Airmata Ara mengalir deras di pelukanku,aku pun tak kuasa menahan haru menyaksikan bagaimana hebatnya Allah menyentuh hati hambaNya. Jam sudah menunjukkan pukul satu. Aku menyuruh Ara membersihkan badannya dan sholat dua rakaat sebelum tidur. Aku pun melakukkan hal yang sama. Seusai sholat aku langsung berhambur ke kasur. Badanku benar-benar butuh istirahat. Ara tidak langsung tidur. Ia memilih bertafakur di atas sejadah. Berdzikir sepanjang sisa-sisa malam. Airmatanya mengalir deras beriringan dengan lantunan dzikir dari bibirnya. Di akhir sepertiga malam ia memanjatkan doa "Ya Allah,hamba ini hina dan Kau Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Hamba ini kotor dan Kau Maha Suci lagi Maha Sempurna. Ya Allah hamba telah mendzalimi diri hamba sendiri. Maafkanlah hambamu yang nista ini. Berikanlah hamba hidayah dan masukkanlah hamba ke dalam golongan orang-orang yang Kau ridhoi. Maafkanlah hamba walau dosa hamba menggunung dan sebanyak buih di lautan. Jika Engkau tak memaafkan hamba,Siapa lagi yang akan hamba pinta ampunannya ya Allah? Siapa yang sanggup menyelamatkan hamba dari siksa nerakamu? Maka tunjukkilah hamba petunjuk. Aamiin"
saat itu tanpa di sadari Ara,doanya lamat-lamat menjelma tangga menggapai langit. Pintu langit merekah dan doa itu di sambut baik oleh penduduk langit. Begitulah hadiah bagi orang-orang yang mau bertaubat dan melapangkan hati menerima hidayah. Hatinya akan terus basah oleh kasih sayang Tuhan semesta Alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Melewatkanmu

Sudut Cahaya