PASAR REBO, I'M IN LOVE (2)


“Kau sungguh mengagumkan, Hanum”
Yang di puji terhenyak di kursinya, menyeka keringatnya. Hanum baru saja selesai mempresentasikan perjalanan hidupnya menggunakan bahasa inggris yang fasih di depan seorang manajer Human Resource Development (HRD). Ia berhasil datang tepat waktu untuk interviewnya, tapi ia tidak berhasil merapikan kerudungnya yang berantakan karena berlari dari lantai satu ke lantai tiga gedung menggunakan tangga darurat karena lift yang dipakai terlalu lama. Beruntungnya, hari ini ia tidak perlu bertemu langsung dengan direktur perusahaan. Ia menyesali kecerobohannya tidak berangkat lebih pagi.
“Baiklah, saya tidak memiliki alasan menolakmu menjadi bagian dari perusahaan ini, tapi lain kali pastikan kau datang dengan wajah yang lebih segar Hanum” Pimpinan HRD berusia 40 tahun itu tersenyum sumringah. Ia kemudian bangkit dari duduknya, menuju lemari tempat penyimpanan berkas-berkas perusahaan. Hanum tersenyum parau,nafasnya masih naik-turun.
“Jadi, kau siap bekerja mulai besok?” Laki-laki berusia 40 tahun ini menoleh ke arah tempat duduk Hanum. Hanum berusaha tersenyum, dan mengangguk lembut.
“Baiklah, kau bisa temui sekretaris di luar dan berikan berkas ini. Dia akan mengurusi ID card dan berkas-berkas lain yang akan kau butuhkan, sekaligus memperkenalkan seluk-beluk perusahaan ini” Laki-laki itu menghampiri Hanum dan menyerahkan amplop coklat berisi dokumen-dokumen penting. Hanum mengangguk, ia segera bangkit dan melangkah ke arah pintu.
“Oiya tunggu Hanum”
Langkah Hanum terhenti, tepat saat kakinya hampir menyambangi pintu. Laki-laki berusia 40 tahun itu memanggilnya lagi. Hanum menoleh
“Apa kau akan bekerja menggunakan gamis itu?”
Hanum mengernyitkan keningnya, apa maksudnya?
“Haha tidak perlu di jawab Hanum, saya hanya bercanda, kau bebas menggunakan gamis itu, pak direktur pasti akan tertarik menjadikan gamis sebagai standart perusahaanya, ya dia memang selalu ingin melakukan itu. Lanjutkan Hanum” laki-laki berusia 40 tahun itu tersenyum lebar dan mempersilahkan Hanum untuk meninggalkan ruangan. Hanum mengangguk lembut dan bergegas melangkah keluar.
.............

Adalah Hadi, pemilik salah satu perusahaan translator di ibukota, Ia baru saja tiba di kantornya pukul 9 pagi. Peluh membasahi kaos oblongnya. Ia baru usai mengantarkan seorang nenek renta keliling pasar induk mencari kios buah-buahan. Hadi segera melangkah ke ruangannya. Wajahnya kusam terkena debu jalanan. Perusahaanya memang dekat sekali dengan jalan raya bogor, maka tak pelak ia harus menghadapi kondisi seperti itu setiap hari.
“Pak Direktur, apa hari ini metromini itu membuatmu harus jalan kaki lagi? wajahmu kusam sekali” seorang laki-laki berusia 40 tahun menyapanya saat kakinya hendak melangkah ke dalam ruangan. Laki-laki itu tertawa lebar. Hadi hanya tersenyum “Berhentilah memanggilku direktur, Paman Haris” Laki-laki yang di panggil paman Haris itu tertawa lagi, Hadi pun bergegas masuk ke ruangannya dan menuju kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan tubuhnya, pekerjaan telah menanti di meja kerjanya. Ia bergegas memakai kemeja yang khusus di taruh di ruangannya untuk ia pakai. Dan setelah itu semua selesai, ia tenggelam bersama pekerjaannya.
TOK..TOK..TOK
Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Hadi.
“Masuklah”
Paman Haris memasuki ruangan Hadi,menghampiri meja kerjanya. “Gadis itu benar-benar mengagumkan Hadi”
Hadi lantas menghentikan pekerjaanya. Ia tertegun sesaat.
“Gadis bernama Hanum itu?” Hadi bertanya santai, ia menghempaskan bahunya di kursi kerjanya.
“Apa kau sudah mengenal dia sebelumnya?” Paman Haris mengambil posisi duduk berhadapan dengan Hadi.
“Tidak, aku tidak mengenalnya. Bukankah Paman yang lebih dulu tahu tentang gadis itu saat mengirim CV?”
“Tentu saja Hadi. Gadis itu memiliki track record yang baik dan kemampuan public relationnya mengagumkan. ia juga mampu berbahasa asing yang fasih. Tapi kalau kau tidak mengenalnya, mengapa kau tadi pagi menelponku dan memintaku langsung saja menerimanya disini? Bukankah kau belum tahu tentang bagaimana keahlian gadis itu?”
Hadi tersenyum. Lesung pipi di pipi kanan kirinya bermunculan. Hadi merapikan tempat duduknya.
“Paman, kau tahu kenapa tadi pagi aku datang sangat terlambat?”
Paman Haris menggeleng. Tidak tahu.
“Selama 2 tahun sejak aku lulus dan langsung menggantikan ayah mengelola perusahaan ini, baru kali ini aku jatuh hati pada seorang gadis paman” Pipi Hadi bersemu merah.
“Kau langsung menerimanya kerja disini hanya karena kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” Mata Paman Haris membelalak.
“Tentu saja tidak paman. Ah kalau saja kau ada di metromini bersamaku paman, kau pasti tidak lagi perlu melakukan interview berjam-jam bersamanya” Hadi tertawa.
“Ceritakan. Ceritakan apa yang terjadi di metromnini itu Hadi” Paman Haris mendesak. Hadi masih tersenyum-senyum. Lesung pipi di pipinya kembali bermunculan.
“Hatinya cantik sekali paman. Ia memapah seorang nenek renta saat ada di metromini. Aku duduk berseberangan dengannya, saat semua orang apatis tak peduli, gadis itu dengan gagahnya memberikan jalan kepada nenek renta itu untuk duduk di kursinya. Aku sedikit terkejut sekaligus malu saat tahu dia dan nenek renta itu turun di tempat yang sama denganku.Aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu saat ku lihat ia dan nenek renta itu kebingungan di pinggir jalan. Ternyata masalahnya ada di nenek renta itu, nenek renta itu tersesat. Gadis itu ingin menolongnya, tapi ia harus melakukan interview, tapi gadis itu tidak meninggalkan nenek renta tersebut sampai aku mendekatinya, menawarkan pertolongan. aku dibuat kagum dengan kecantikan hatinya. Saat ia mengatakan padaku bahwa ia akan melakukan interview di perusahaan ini, aku bahagia sekali paman, setidaknya aku tahu, aku akan melihanya lagi. Karena itulah aku langsung meneleponmu dan karena itu juga aku jadi datang terlambat, aku harus mengantar nenek itu menuju pasar induk”
Paman Haris terdiam di kursinya. Mendengarkan dengan seksama.
“Aku tidak sempat bertanya siapa namanya, tapi ia meminta nomer handphone ku. Aku harap ia benar-benar menghubungiku” Hadi merapikan posisi duduknya, mengambil air mineral di atas meja kerjanya.
“Dia pasti akan menghubungimu Hadi, kau direktur disini, dan gadis itu bekerja untukmu. Jadi apa kau tertarik langsung melamarnya?”
Hadi tersedak. Air mineral yang tadi di minumnya hampir saja membasahi kemeja kerjanya. Ia menatap wajah pamannya.
“tidak secepat itu. aku butuh waktu untuk mengenal gadis itu lebih jauh” Hadi meletakkan gelas yang ada dalam genggamannya ke atas meja.
“Apa kau butuh seseorang untuk memata-matai?”Paman Haris bertanya serius. Hadi menggeleng lembut.
“Tidak paman, aku sendiri yang akan melakukannya” Suara Hadi terdengar bertenaga.
................

Hanum kelelahan. Ia baru saja mengikuti seorang staff yang ditugaskan untuk membantunya mengenalkan perusahaan ini. Sekarang ia terduduk merebahkan punggungnya di sebuah kursi di dapur perusahaan sambil menyeruput teh hangat. Sudah hampir jam pulang, ia menghela nafas lega. Ia tahu, hanya untuk hari ini saja ia harus keliling-keliling ruangan. Tentu saja untuk selanjutnya tugasnya adalah mentranslate naskah. Bukan keliling perusahaan lagi.
Saat ia memutuskan untuk bangkit dari duduknya, seorang pemuda yang wajahnya tak asing baginya memasuki dapur.
“Mas Abdul?”
Laki-laki yang di panggil Abdul itu terdiam di tempatnya. Matanya terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Mas Abdul kerja di sini juga?” Hanum bertanya lagi. Pemuda itu tak bergeming. Keringat bercucuran ditubuhnya. Ia masih terdiam di tempatnya. Pandangan Hanum tertuju pada gelas yang ada dalam genggaman pemuda tersebut dan kaos santai yang di pakainya.
“Oh Mas Abdul office boy di sini? kenapa tadi pagi engga bilang? Kan bisa bareng? Oiya Astaghfirullah Nenek itu bagaimana? Apa dia sampai tujuan?” Hanum melempar rentetan pertanyaan yang sungguh bagi pemuda di depannya itu lebih seperti ribuan panah yang mengarah padanya. Pemuda tersebut masih tak bergeming. Tak mampu berkata-kata.
“Kenapa Mas Abdul diam? Mas abdul kerja di sini?” Hanum mendesak.
“Se.. sebenarnya.. sa.. “ Pemuda itu berusaha menjelaskan. Lututnya mendadak lemas.
“Sebenarnya apa? Engga perlu malu. Di mata Allah pekerjaan itu sama aja kok, yang membedakan itu kan amal ibadah kita” Hanum berkata polos. Pemuda di depannya menelan ludah, tak berkutik
“Jadi, sejak kapan mas Abdul kerja jadi Office Boy?”
Bukannya menjawab, pemuda itu justru jatuh tersungkur. Lemas terduduk di hadapan Hanum.
BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Melewatkanmu

Sudut Cahaya