PASAR REBO, I’M IN LOVE (4)



“Percuma berhijab, tapi munafik Han”
Food Court Mall Graha Cijantung terasa lenggang saat kalimat itu keluar dari mulut Valen. Kalimat yang langsung saja memuat Hanum tergugu. Ia menatap Valen yang duduk di depannya dengan tatapan tajam.
“Kenapa kamu bisa berfikir begitu?” Hanum berusaha menahan sesak didadanya.
“Ya percuma aja dia pake kerudung kalau akhlaknya belum baik kan? Saya aja muallaf karena terpaksa ikut ibu, karena ayah sudah meninggal. Dan kalau bukan karena Pak Hadi, saya juga engga bakal pakai kerudung kalau ke kantor Han” Valen asik berkata-kata dengan tangan sibuk mengaduk-aduk spagheti di hadapannya. Hanum tertegun. Kalimat itu sungguh menusuk hatinya. Tidak, kerudung ini tidak pernah salah, kalau ada yang salah dengan akhlak seseorang, bukan berarti kesalahan itu di limpahkan juga pada kerudungnya. Ingin sekali ia berteriak saat itu juga di hadapan Valen, tapi ia segera beristighfar dan meyakini hatinya bahwa hidayah itu milik Allah. Ia tidak akan bisa menuntun Valen pada kebenaran jika Allah tidak menghendakinya. Maka ia memilih sabar, memikirkan cara untuk membuat Valen mengerti.
“Saya kenyang Han. Lanjut jalan yuk” Valen beranjak dari kursinya. Hanum masih terduduk lemas di kursi. Ia tidak berselera melanjutkan weekendnya bersama teman barunya di kantor itu. Kalau saja Valen tidak mengeluarkan kata-kata seperti tadi, pastilah mood Hanum tidak akan hancur seperti saat ini. Ini juga salah Hanum yang tiba-tiba bercerita bahwa ia ingin punya perusahaan yang pegawainya muslimah berhijab semua. Dan kalimat tidak menyenangkan pun harus ia dapatkan.
“Aku tiba-tiba engga mood banget len. Kita balik aja yuk, lagian kita udah berjam-jam di mall” Hanum berkilah, memanfaatkan keadaan untuk segera menghentikan acara weekendnya bersama Valen.
“Yah, kan kita belum ke toko buku Han. Katanya mau beli buku Tere Liye?” Valen mendesak. Tapi Hanum segera bangkit dari duduknya dan bergegas meraih tas di meja, menuntun Valen segera meninggalkan food court dengan wajah lelah selelah-lelahnya
..........................................................
“Apa-apaan ini?”
Sebuah buket bunga besar bertengger di meja kerja Hanum. Kaki Hanum mendadak lemas. Keringat dingin bercucuran di wajahnya. Ia sengaja datang pagi-pagi sekali ke kantor, mengingat ada email dari klien yang lupa ia backup kemarin. Dan alangkah kagetnya saat matanya mendapati ada buket bunga yang di letakkan tepat di atas meja kerjanya. Dari siapa? Fans? Mana mungkin Hanum punya Fans? Bukannya Hanum baru sebulan kerja di sini?
Ada sebuah kartu ucapan yang terselip diantara bunga-bunga mawar di dalam buket tersebut. Hanum gemetaran meraih kartu ucapan itu. Perlahan ia membuka kartu yang hanya terdiri dari dua lembar kertas yang dilipat dua. Sebuah kalimat yang singkat namun amat menusuk batinnya tertera di sana, juga sang pengirim bunga.
“D O A adalah peta yang memaparkan rindu untuk menemukanmu yang sangat pandai menjaga. Aku bukan terlalu malu untuk bertemu. Tapi aku belum segagahitu untuk mengungkapkan” –Dari yang selalu memperhatikanmu.
Basi! Siapa pula yang kekanak-kanakan melakukan ini? Hanum terus berdebat dengan hatinya. Ia harus segera menyembunyikan buket ini atau malah membuangnya sekalian. Menerima buket bunga dari laki-laki yang bukan mahramnya sungguh bukan sesuatu yang hebat untuknya, ini justru akan membombardir benteng pertahanannya untuk menjaga diri.
Karena masih sangat pagi, kantor masih terasa lenggang. Hanum segera berlarian ke bawah, menuju lobi dan menghampiri tempat sampah. Buket bunga itu langsung di lemparnya ke tempat sampah tanpa pertimbangan. Baginya, tidak ada yang perlu di pertimbangkan. Adegan sok romantis yang sebenarnya kekanak-kanakan ini justru membuatnya muak. Sangat memprihatinkan.
Tepat saat kakinya melangkah masuk, tubuhnya hampir bertabrakan dengan dengan sosok laki-laki yang telah beberapa hari ini tidak ia lihat di kantor.
“Mas Abdul?”
“Eh? Maaf Hanum”
Hanum segera mengendalikan dirinya. Ia tidak boleh kikuk, sangat tidak boleh. Ini justru yang menimbulkan adanya virus ‘baper’ nantinya.
“Engga apa-apa. Kenapa Mas Abdul baru keliatan?”
“Oh, hmmm saya memang lagi ada kesibukan lain saja di luar. Maaf Hanum saya harus segera pergi” laki-laki itu pun bergegas meninggalkan lobi, menuruni tangga dan hilang dalam hiruk pikuk jalan raya bogor. Hanum tergugu di tempatnya. Ia baru menyadari kalimat yang di katakan tadi sangat tidak penting. Astaghfirullah, kenapa pula di harus bertanya kenapa mas baru keliatan? Itu sungguh sangat memalukan.
Dengan langkah gontai ia segera kembali ke meja kerjanya. Beberapa karyawan telah berdatangan. Pagi ini pikirannya di buat semerawut dengan dua kejadian konyol sekaligus. Bouket aneh itu dan kalimat yang tak sepantasnya di katakan kepada non mahram. Oh Allah sulit sekali menjaga hati.
 
Keesokan harinya bunga yang serupa ada lagi! kali ini ada dua. Tapi sebenarnya bukan hanya itu yang membuat Hanum ingin lari saja dari kantor rasanya. Hari ini Hanum tidak sedang berangkat pagi. Kondisi kantor sudah ramai oleh karyawan. Jadilah, sepagi ini Hanum dihujani oleh kalimat-kalimat pujian yang sebenarnya lebih terdengar seperti bom atom yang di hunjamkan pada hiroshima dan nagasaki.
Hanum perlahan menyembunyikan bouket bunga itu di bawah meja kerjanya, ia tidak tertarik lagi membaca kartu ucapan yang kini bergelantungan di antara bunga-bunga.  Lebih baik tidak tahu sama sekali.
“Loh kok di taruh bawa si Han? Sayang banget. Buat saya aja deh. Ada yang suka kok di abaikan gitu sih Han?”Valen tiba-tiba sudah berdiri tegap di hadapan meja kerja Hanum. Bersiap meraih buket bunga yang kini dibiarkan tergeletak di lantai. Hanum menghela nafasnya. Membiarkan Valen mengambil buket bunga tersebut.
“Wah Han, baru sebulan di sini udah ada yang ngefans. Cie banget sih Han” Valen membuka lembar kartu ucapan yang masih tergantung di buket bunga tersebut. saat matanya mendapati tulisan yang tertera di dalamnya, ia sontak berteriak histeris hingga seluruh karyawan yang ada di ruangan tersebut nyaris menoleh semua ke arah mereka berdua.
“Astaga, Hanum! Ini keren banget!”
Demi mendengar kalimat itu keluar dari bibir Valen, Hanum segera bangkit dan menutup mulut Valen. Matanya melotot memberi isyarat bahwa ada banyak orang yang mendengar ucapannya. Valen mengangguk mengerti. Hanum pun bergegas menarik Valen ke dapur kantor. Buket bunga itu masih ada dalam genggaman Valen.
“Buang len bunganya, itu mengganggu saya banget” Hanum segera mendesak Valen setelah tiba di dapur kantor. Valen justru melepas cengkraman tangan Hanum dan membaca ulang kalimat yang tertera di kartu ucapan. 
“Purnama telah terlalu dini untuk ungkapkan. Ada cinta yang masih kekanak-kanakan, namun ia sungguh bijaksana menjaga perasaan. Hanum, maukah kau menemuiku pada purnama yang kini sedang meronta? Ku tunggu kau pada purnama  hari ini di taman mall Graha Cijantung. Agar rasa ini segera terbayarkan” –Mr H
“Wow. Dia ngajak ketemuan Han” Mata Valen membulat, bibirnya sumringah. Tapi Hanum sebaliknya, kini kakinya lemas tak berasa. Jantungnya betalu-talu tak karuan mendengar kalimat itu di bacakan oleh Valen. siapa pula Mr H? Dia sungguh tidak mengenalnya dan bagaimana dia bisa tahu namanya? Bukankah selama ini Hanum tidak sedikitpun memberikan celah pada laki-laki untuk mengenalnya? apalagi sampai membuat laki-laki itu berani melakukan itu padanya. Ini benar-benar berbahaya. Hanum terduduk lemas di kursi. Wajahnya pucat pasi. Ia ketakutan. Di perlakukan seperti ini oleh orang misterius bukanlah sesuatu yang baik.
“Engga perlu begitu Han. Mending temuin orang ini, biar kamu tahu siapa dia” Valen mendekati Hanum yang kini terkulai di kursi dapur kantor.
“Tapi aku engga kenal. Bagaimana kalau dia orang jahat?” suara Hanum memberat. Airmata tiba-tiba mengalir di pipinya.
“Hmm kalau begitu kita selidiki dia Han. Kalau dia bisa mengirim pagi-pagi sekali di kantor. Berarti orang itu adalah karyawan di perusahaan ini. engga mungkin orang luar yang memberikan ini Han” Valen berujar antusias.
“Tapi siapa?” perasaan khawatir dalam diri Hanum mereda. Ia kini mulai tertarik melakukan penyelidikan pada orang misterius yang mengiriminya bunga.
“Kita mulai dari klue yang pertama. Dia itu berinisial H. Siapa aja karyawan yang memiliki huruf depan H?” Valen meraih kursi di pojok ruangan dan menaruhnya tepat di hadapan Hanum, kini posisinya telah sempurna berhadapan dengan Hanum.
“Kita kan engga hafal nama karyawan di sini” Dahi Hanum terlipat, kekhawatiran itu datang lagi.
“ Saya haFal Han. Setahun kerja di sini cukup untuk bisa mengenal seluk beluk perusahaan dengan baik”Valen menenangkan.
“Oke jadi siapa aja?” Hanum kembali bertanya.
“Cuma ada 10 orang yang memiliki huruf depan H. 5 diantara engga mungkin jadi sasaran karena mereka sudah menikah ya walaupun masih muda. 3 diantaranya udah tua. Jadi engga mungkin dia. 2 lagi sih yang kayaknya mungkin. Tapi beberapa hari ini dia engga keliatan, karena sedang di tugasin di luar” Valen berpangku tangan. Menatap wajah Hanum serius.
“Udah 10 kok. Tapi engga ada kriteria yang di maksud” Hanum menyergah, segera tahu nama-nama itu boleh jadi tidak termasuk dalam daftar orang yang mengerjainya.
“Sebenarnya ada satu lagi sih” Valen berkata hati-hati. matanya melirik tajam ke arah Hanum.
“ Siapa?” Hanum balas terkejut. Matanya mendelik penasaran.
“Hmm tapi kayaknya engga mungkin. Udah lupain aja” Valen mengubah posisi duduknya, bersandar.
Ruangan dapur hening sejenak. Hingga Valen mengeluarkan suara yang membuat Hanum bergidik.
“Astaga, sebelumnya apa kamu pernah dekat dengan laki-laki di perusahaan ini? sejak pertama bertemu misalnya?” Valen memajukan wajahnya, bertanya dengan tatapan penuh penekanan.
“Iya sih pernah, dia OB di sini, tapi namanya Abdul bukan dari H. Itu pun kenalnya cuma begitu doang kok” Hanum menjawab pasrah.
“Abdul? Siapa Abdul? Saya engga tahu ada OB yang namanya Abdul” Valen melipat dahi, keheranan.
“Masa sih? Saya liat sendiri kok dia kerja di dapur ini” Hanum berkilah, menjawab penuh percaya diri.
“Engga ada OB yang namanya Abdul, Hanum. OB Cuma satu di sini, pak Narwan namanya, engga ada lagi, saya udah setahun loh di sini” Valen menegaskan.
Hanum mulai meraba-raba ingatannya saat bertemu dengan Abdul dipinggir jalan simatupang. Ia yakin sekali melihat abdul di kantor ini.
“Kalau memang dia OB jam segini dia pasti ada di sini Hanum” Valen kembali berujar. Hanum menatap wajah Valen lamat-lamat. Benar kata Valen, ia jarang sekali melihat Abdul bahkan hampir tidak pernah. Hanya sesekali saja.
“Astaga Hanum, jangan-jangan orang itu..” Mata Valen mendelik, suaranya tercekat. Ragu-ragu dengan apa yang akan diucapkannya.
“ Apa Valen?” Hanum menyelidik, ikut terkejut.
“Cuma ada satu orang yang namanya Abdul, dan itu... pak Hadi!”
“Pak Hadi?”
“Kamu beneran belum pernah ketemu pak Hadi kan?”
Hanum yang duduk dengan raut wajah was-was mengangguk ragu-ragu.
“Kalau begitu datanya valid. Lebih baik sekarang kamu keruangan pak Hadi. Kalau dugaan aku bener maka laki-laki itu adalah pak Hadi” Valen menyipitkan matanya,berkata serius. 

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Melewatkanmu

Sudut Cahaya