PASAR REBO, I’M IN LOVE (5)
“Jam berapa kamu akan berangkat Hadi?”
Paman Haris menghampiri
Hadi yang sedang sibuk membulak-balikkan berkas-berkas perusahaan. Wajahnya
kusut karena semalaman bergadang mengerjakan tugas kantornya dan membuat
laporan keuangan bisnis jaket kulitnya.
“Sebentar lagi paman,
aku belum selesai memfollow-up data-data klien yang masuk. Nanti kalau aku
pergi, tolong beri tahu Siska untuk membereskan komplain klien yang masuk ke
kita ya paman. Aku udah engga ada waktu lagi buat menghadapi masalah yang
begitu” Hadi berkata-kata dengan tangan masih sibuk membolak-balik map di
tangannya.
“ Beres Hadi. Kau
sebaiknya pergi sekarang dan bersihkanlah dulu wajahmu yang kusut itu. Jangan
sampai kau bertemu dengan investor dengan wajah begitu” Paman Haris menghampiri
sofa panjang di pojok ruangan, menyandarkan bahunya di sana. Tatapannya masih
tertuju pada wajah Hadi yang terlihat lelah.
“Meetingnya di Graha
Cijantung kok paman, deket” Hadi berkilah, tangannya masih sibuk mencoret-coret
berkas. Sebentar lagi pekerjaannya selesai.
Tepat saat Hadi hampir
selesai membereskan mejanya, seseorang mengetuk pintu. Dengan langkah cepat
tanpa meminta tolong paman Haris yang kini tengah bersandar di sofa, ia segera
membukakan pintu.
“Selamat pagi pak?” Suara Hanum terhenti.
Tepat saat wajahnya berhadapan dengan Hadi.
“Hanum?” Hadi terkejut,
tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya saat ini.
“Mas Abdul?” Dengan
sisa-sisa kepercayaan dirinya, Hanum berusaha menekankan siapa yang ada di
hadapannya.
Paman Haris segera
bangkit dari duduknya ketika menyadari siapa yang datang keruangan Hadi.
“Kamu?” Keduanya kikuk
dan mengucapkan kata yang sama.
Hadi menghela nafasnya,
mencoba mengendalikan diri. Hanum yang berdiri tepat di hadapannya justru tidak
mencoba mengendalikan diri, keberanian yang entah datang dari mana tiba-tiba
hadir merasuki jiwanya dan membuatnya berani berkata-kata di hadapan Hadi.
“Jadi Mas Abdul bukan
OB di sini? Mas Abdul direktur di sini? kenapa mas Abdul pake nama Abdul
segala? Nama Mas Hadi kan? mas Abdul bohong”
Kalimat itu spontan keluar dari bibir Hanum. Hadi menggaruk kepalanya
yang tak gatal, sesegera mungkin mengusap wajahnya.
“Dengarkan Hanum,saya
engga bohong. Nama saya memang Abdul, Abdul Hadi dan saya memang tidak pernah
bilang ke kamu kan kalau saya ini OB? Saya tidak berbohong Hanum” Hadi
menjelaskan, keringat bercucuran di wajahnya.
“Lalu ini apa? Ini anda
kan yang mengirim? Bunga ini anda kan yang sengaja taruh di meja saya? Buat
apa? Saya tahu saya cuma bawahan tapi anda tidak berhak memperlakukan saya
begini. Maaf dengan segala hormat. Saya pikir, anda adalah laki-laki baik. Tapi
sama sekali tidak,mulai hari ini, saya mohon undur diri dari perusahaan,
assalammualaikum” tanpa berbalik badan lagi, Hanum segera melangkah
meninggalkan ruangan dan meninggalkan buket bunga itu di lantai. Di belakangnya
Hadi terus memanggil namanya, tapi Hanum tak bergeming dan terus melangkah ke ruangan karyawan dan
menuju meja kerjanya, mengambil semua peralatan kantornya tanpa sedikitpun
menghiraukan Valen yang kini sibuk bertanya di sampingnya dan bergegas
meninggalkan kantor.
Dua bulan kemudian..
Pukul 6 pagi
Kawasan pancoran
Jakarta Selatan sudah di padati oleh deru kendaraan bermotor. Motor-motor
mendesak menyalip mobil-mobil pribadi, metromini
terlihat satu dua ikut meramaikan jalanan, beberapa transjakarta juga nampak
tersumbat jalurnya karena pengendara yang tidak bertanggung jawab. Para pejalan
kaki terlihat sesekali menyebrangi jalan, menunggu giliran lampu merah
bergantian dengan lampu hijau, lantas berkerumun menyeberang bersamaan. Inilah ibukota
di pagi buta.
Sepagi ini, Hanum sudah
berjibaku dengan ibukota. langkahnya patah-patah menyusuri trotoar menuju halte
terdekat. Angin lembut menerpa wajahnya,
menyibak kerudung biru dan gamis terbaiknya. Hari ini adalah hari spesial
baginya.
Dua hari yang lalu,
pimpinan salah satu pabrik jaket kulit menelponnya, menerima lamaran kerjanya
menjadi seorang General Manager. Ia harus melakukan interview jam 9 pagi. Ia
menunggu dua hari yang terasa seperti setahun. Seharian ia berusaha sepenuh
hati mempersiapkan interview ini. Termasuk melatih kemampuan berbahasa asingnya.
Sudah dua bulan semenjak Hanum mengundurkan diri dari perusahaan translator.
Selama dua bulan juga Hanum berusaha merecovery hati dan kehidupannya. Tidak
ada kata galau dalam kamus kehidupannya. Untuk itu selama berminggu-minggu ia
menjual jasa design, berusaha menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat,
sambil mencari lowongan pekerjaan baru untuknya.
Sebuah metromini
melintas tepat saat Hanum tiba di halte. Seorang kondektur turun dan
berteriak-teriak memanggil-manggil penumpang. Hanum bergegas naik. Hanya ada
dua penumpang yang naik bersama Hanum, tanpa menunggu penumpangnya tiba di
tempat duduk dengan sempurna, metromini itupun melaju kembali menyusuri jalan.
Hanum beruntung, metromini yang ditumpanginya tidak dipadati penumpang seperti
biasanya. Hampir semua penumpang mendapatkan tempat duduk, ia lantas
mencari-cari kursi kosong, dan pandangannya tertuju pada kursi kosong di dekat
pintu belakang. Tanpa berfikir panjang, ia lantas duduk di sana kemudian
menghela nafas lega. Seorang laki-laki berjaket merah tertidur pulas di
sebelahnya, wajahnya di tutupi topi berwarna biru. Hanum bergeser sedikit,
menjaga jarak.
Metromini melaju cepat
menyusuri jalan, bukan metromini namanya kalau tidak bermanuver saat menguasai
jalanan. Dan seperti biasa, metromini berhenti mendadak di halte selanjutnya,
membuat para penumpang terpelanting ke depan. Hanum segera menutupi kepalanya
dengan tas, agar tidak seperti yang sudah-sudah, terhantam bahu kursi
metromini. Laki-laki di sampingnya terbangun, dan betapa terkejutnya Hanum saat
menyadari laki-laki yang duduk di sampinya tersebut.
“Mas Abdul?”
Hadi segera merapikan
posisi duduknya, saat sadar siapa yang duduk di sampingnya, ia segera mengusap
wajahnya dan tersenyum sumringah.
“Hanum? Maafkan saya
Hanum” Hadi segera kikuk, tidak ada lagi kalimat yang keluar dari mulut Hadi,
selain kalimat tersebut. Seperti sudah terangkai sebelumnya bahwa ia ingin
mengatakan itu saat bertemu Hanum.
Hanum hendak berdiri,
tidak ingin mendengar apapun dari mulut Hadi. Tapi gerakannya terhenti saat
sadar metromini telah di padati penumpang. Ia pun kembali duduk di sebelah
Hadi, tetap menjaga jarak. Hadi yang duduk di sampingnya tertunduk, sambil
tetap melirik ke arah Hanum.
“Bukan saya yang
memberikan buket bunga itu Hanum” Hadi memecah sunyi diantara mereka berdua.
Hanum hanya melirik sedikit, tidak menghiraukan. Metromini telah kembali
melaju.
“Dan saya tidak pernah
bermaksud berbohong, saya....”
“Cukup. Saya percaya.
Udah engga ada yang perlu di perpanjang. Toh saya waktu itu Cuma khilaf aja,
engga sepantasnya saya begitu sebagai seorang muslimah. Saya terlalu takut pada
saat itu, saya juga minta maaf sudah bentak-bentak” Hanum menyergah dengan
tatapan lurus ke depan. Hadi segera tersenyum lebar menghela nafas lega.
Hening sejenak.
Menyisakan suara deru metromini yang melaju di jalan raya.
“Kalau di inget-inget,
tiga bulan yang lalu kita pernah satu metromini yang sama. Tapi sayangnya kita
belum saling kenal saat itu. Lucu ya kalau di ingat-ingat” Hadi tertawa.
Disampingnya, Hanum hendak tertawa juga, namun segera ia kendalikan dirinya.
“Katanya, kalau sesuatu
itu berpisah, kemudian ketemu lagi itu
tandanya jodoh” Hadi melirik Hanum di sebelahnya. Takut-takut dengan dampak
kalimat yang keluar dari mulutnya. Dan benar saja, Hanum segera menoleh dan
melotot ke arah Hadi. Sebenarnya itu tatapan penuh penegasan, apa benar kita
jodoh? Tapi dimata Hadi itu seperti sebilah pedang yang akan mencabik-cabik
dirinya.
“Maaf hhe” Hadi
tertawa.
Perbincangan kaku itu
berakhir saat metromini tiba di Pasar Rebo. Hanum melangkah turun. Diikuti Hadi
yang turun di tempat yang sama. Hanum melangkah cepat hendak meninggalkan Halte,
sampai suara Hadi menghentikan langkahnya.
“HANUM!!”
“Apa lagi? saya bukan
bawahan anda lagi. jadi jangan perintah-perintah saya” Hanum berkata tegas di
hadapan Hadi yang kini sudah berdiri di hadapannya.
“Kamu yakin? Bukannya
kamu mau interview di sebuah pabrik jaket kulit dan bekerja sebagai General Manager
di sana? Saya adalah pemilik perusahaan itu Hanum” Hadi berkata puas, sempurna
membuat Hanum tercengang tidak percaya.
“Tidak mungkin”
“Liat sendirilah” Hadi
mengeluarkan kartu namanya. Membuat Hanum yang berdiri di hadapannya tergugu.
“Hanum, saya ingin
minta maaf untuk dua hal” Hadi berkata serius. Keduanya berdiri tepat di
trotoar Pasar Rebo.
“Dua hal?” Hanum
melipat dahinya.
“Iya, yang pertama saya
minta maaf jika saya bukan laki-laki baik seperti yang kamu bilang waktu di
ruangan itu. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, buket bunga itu bukan dari
saya, tapi dari Heru, karyawan di sana juga. Valen yang bilang ke saya. Dia
yang datang untuk menemui laki-laki itu dan kemudian keduanya malah saling
jatuh cinta sekarang. Entahlah, mereka sedang proses ta’arruf. Valen nitip
salam untukmu Hanum. Ia berterimaksih untuk satu bulan penuh pelajaran.
Sekarang dia sudah mulai memakai gamis dan jilbab yang rapi” Hadi tersenyum
hangat. Dua lesung pipi bermunculan di pipinya, wajahnya yang bersih bersinar
di terpa sinar matahari. Suara deru kendaraan bermotor menjadi latar
perbincangan mereka.
“Alhamdulillah, Valen.
saya ikut senang dengarnya” Mata Hanum berkaca-kaca, itu sungguh kabar baik
untuknya. Ia teringat dengan percakapannya di foodcourt graha dua bulan yang lalu dan kini ia saksikan
sendiri bagaimana Allah menghendaki siapa saja untuk mendapat hidayah. Dan
masalah Heru, ia sungguh tidak tahu, Valen tidak pernah mengatakan ada yang
namanya Heru di kantor.
“Dan yang kedua Hanum.
Saya ingin minta maaf karena saya terlalu pengecut menyatakan ini. Berhari-hari
saya menunggu untuk satu metromini lagi denganmu,Hanum. Tapi tidak pernah lagi.
Saya sangat menantikan saat-saat seperti ini” Hadi menatap wajah Hanum
lamat-lamat. Hati Hanum berdesir, yaAllah ada apa ini?
“Orang tua kamu masih
lengkapkan? Saya boleh ajak paman saya ke rumah kamu? Soalnya orang tua saya
sudah meninggal” Hadi menggaruk kepalanya yang tak gatal. Merasa enak benar
mengucapkan kalimat sakral itu.
“Maksudnya?” Hanum
menahan rasa bahagia yang meletup-letup dalam hatinya.
“Maksudnya, Hanum saya
ingin melamar anda malam ini juga”
Bulir-bulir airmata mengalir
piawai di pipi Hanum, air mata kebahagiaan. Rasanya ingin langsung melompat dan
berseru “yes!” tapi Ia segera menghapus airmatanya,berbalik badan, berlari dan
meninggalkan Hadi di troatoar sendiri. Ia sungguh bahagia, laki-laki yang
membuatnya kagum itu diam-diam selama ini, malam ini akan melamarnya.Di
belakangnya, Hadi berseru sambil melambaikan tanganya “Tunggu saya Hanum, saya
akan hubungi kamu lagi”
“YaAllah terimakasih,
Mas Abdul aku akan menunggu, aku akan menunggumu malam ini” Hanum bergumam
dalam hati.
.........................................................................................................................................
Dua minggu kemudian
sejak Hanum dan Hadi dipertemukan kembali di Pasar Rebo. Tempat mereka pertama kali
bertemu. Hadi dan Hanum melangsungkan acara pernikahan. Akad nikah itu
berlangsung khidmat. Resepsi pernikahan dilangsungkan secara sederhana, di
masjid raya kota Bogor. Hanum terlihat anggun dalam balutan gaun pengantin
berwarna putih. Dan Hadi terlihat gagah bak pangeran dengan jas putihnya. Walaupun
sederhana, kedua memperlai tahu betul bahwa pertemuan mereka, segala hal yang
terjadi 3 bulan belakangan saat mereka pertama bertemu atau saat mereka kini
saling berdampingan, tak pernah sederhana. Tidak ada takdir Tuhan yang
sederhana, semuanya menakjubkan. Penuh misteri dan penuh pesona. Hanum mencium
tangan Hadi yang kini resmi menjadi suaminya.
“Saya.. eh? Maksudnya
aku boleh kan manggil Mas Abdul seperti saat pertama kita bertemu di Pasar Rebo?”
Hanum menatap wajah Hadi.
“Tentu saja istriku” Dan
kecupan hangat pun mendarat di kening Hanum.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar