PASAR REBO, I'M IN LOVE


Pukul 6 pagi

Kawasan pancoran jakarta selatan sudah di padati oleh deru kendaraan bermotor. Motor-motor mendesak menyalip mobil-mobil pribadi, Metromini terlihat satu dua ikut meramaikan jalanan, beberapa transjakarta juga nampak tersumbat jalurnya karena pengendara yang tidak bertanggung jawab. Para pejalan kaki terlihat sesekali menyebrangi jalan, menunggu giliran lampu merah bergantian dengan lampu hijau, lantas berkerumun menyeberang bersamaan. Inilah ibukota di pagi buta.
Sepagi ini, Hanum sudah berjibaku dengan jalan raya. langkahnya patah-patah menyusuri trotoar menuju halte terdekat. Angin lembut menerpa wajahnya, menyibak kerudung biru dan gamis terbaiknya. Hari ini adalah hari spesial baginya.
Dua hari yang lalu, pimpinan salah satu perusahaan translator di jakarta menelponnya, ia harus melakukan interview jam 7 pagi. Ia menunggu dua hari yang terasa seperti setahun. Seharian ia berusaha sepenuh hati mempersiapkan interview ini. Termasuk melatih kemampuan berbahasa asingnya. Hanum baru lulus dari salah satu universitas ternama di ibukota. Selama menjadi mahasiswa, Hanum terbiasa bekerja paruh waktu untuk tambahan uang kosannya. Untuk itulah salah satu pimpinan perusahaan tranlator di ibukota menelponnya langsung setelah melihat curiculum vitae milik Hanum yang di nilai kompeten.
Sebuah metromini melintas tepat saat hanum tiba di halte. Seorang kondektur turun dan berteriak-teriak memanggil-manggil penumpang. Hanum bergegas naik. Hanya ada dua penumpang yang naik bersama Hanum, tanpa menunggu penumpangnya tiba di tempat duduk dengan sempurna, Metromini itupun melaju kembali menyusuri jalan. Hanum beruntung, metromini yang ditumpanginya tidak dipadati penumpang seperti biasanya. Hampir semua penumpang mendapatkan tempat duduk, ia lantas mencari-cari kursi kosong, dan pandangannya tertuju pada kursi kosong di dekat pintu belakang. Tanpa berfikir panjang ia lantas duduk di sana kemudian menghela nafas lega. Metromini itu kembali berhenti di halte selanjutnya ,4 orang laki-laki berseragam kantoran dan 5 orang wanita menggunakan seragam casual masuk berdesakan. metromini itu pun mulai di padati penumpang. Hanum menatap arloji di pergelangan tangannya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Ia menggigit bibirnya, kalau ia beruntung ia akan tiba di kantor pukul 7 kurang 15 menit tapi kalau tidak terpaksa ia akan mendapatkan kesan tidak menyenangkan di hari pertamanya interview.
Metromini itu berhenti lagi. tapi bukan di halte, persis di pinggir trotoar. Supir metromini itu mengerem mendadak dan sempurna membuat penumpanganya terhuyung semua ke depan. Kepala Hanum berbenturan dengan kursi penumpang. Ia mengaduh kesakitan, masalahnya kursi itu bukan kursi penumpang seperti di bus-bus mahal tapi kursi berbahan plastik keras dan cukup untuk membuat hanum meringis berkali-kali.
Seorang nenek-nenek berusia sekitar 70 tahun naik. Ia menggendong sebuah plastik besar berisi bumbu-bumbu atau sejenisnya. Nenek-nenek itu bersusah payah melewati kerumunan penumpang lainnya. Mereka tidak banyak bergeser sehingga membuat nenek tersebut kesulitan untuk masuk di tambah lagi supir metro yang langsung menerabas jalan tanpa melihat penumpangnya sudah siap atau belum. Nenek itu makin kesulitan. Ia bersusah payah menenteng barang bawaannya. Beberapa laki-laki bertubuh cukup besar asik dengan gadgetnya, nenek tersebut ingin minta tolong tapi urung. Hanum yang melihat pemandangn itu dari kursi belakang menatap jeri. Ia lantas bangkit dari kursinya. Berteriak permisi kepada penumpang di depannya, agar membuka jalan untuk nenek tersebut.
“Mari nek, nenek duduk di kursi saya” Hanum menuntun nenek tersebut ke kursinya di belakang. Nenek tersebut membalas dengan senyuman “Hatur nuhun neng”
Sudah pukul setengah tujuh. Hanum mulai cemas. Ia mulai merutuki dirinya, kenapa ia tidaak berangkat lebih pagi?
Tepat saat jarum jam menunjukan pukul 7 kurang 20 menit. Hanum tiba di halte dekat perusahaan translator. Ia bergegas turun. Namun baru beberapa kali melangkah, langkahnya berhenti melihat nenek-nenek yang tadi di tolongnya terlihat ingin turun juga. Hanum tanpa berfikir dua kali ia langsung mengambil alih menenteng plastik besar itu, dan menuntun nenek tersebut turun.
“Ternyata kita turun di tempat yang sama bu, ibu mau kemana?” Hanum mecoba mengajak bicara orang tua tersebut saat keduanya telah berada di pinggir halte.
“Saya mau ke pasar bawa ini nih,tapi udah telat kayaknya. Saya nyasar”
“Emang pasar mana bu?”
“Pasar induk. Cuma udah kesiangan. Pasar induk itu naik apa dari sini ya?” nenek tersebut bertanya kebingungan. Wajahnya yang sudah keriput disana-sini mengguratkan cemas.
Hanum menatap arlojinya. Sudah pukul tujuh kurang 15 menit. Ia sadar ia akan terlambat, tapi ia tidak mungkin meninggalkan nenek itu di sini, minimal ia harus bisa memastikan nenek itu tiba di tujuannya, karena untuk orang seusianya tidak mudah menenteng plastik besar di tambah beliau tidak tahu jalan. Harus ada yang menuntunnya.
“Ibu punya nomer yang bisa di hubungi? Anak ibu misalnya?” Hanum berusaha memperbaiki keadaan
“Engga neng, anak ibu semua di kampung, ini mau nganter belanjaan ke pasar induk, Cuma lupa jalannya” nenek itu menyeringai. gigi-giginya yang sudah ompong sana-sini bermunculan.
“Baik sebentar ya bu saya akan berusaha membantu ibu” Hanum menatap sekeliling. Siapa yang bisa membantunya? Jelas ia tidak mengenal orang-orang yang berlalu lalang itu kalau pun kenal belum tentu ia mau mengantar nenek-nenek tua ke pasar. Saat Hanum hampir putus asa di tambah jam yang sudah menunjukkan pukul 7, saat Hanum ingin menangis saja rasanya, pertolongan itu pun tiba. Seorang pemuda berusia sekitar 20-25 tahun menggunakan kaos oblong dengan jeans biru menghampirinya.
“Maaf mba, kayaknya lagi bingung, ada bisa saya bantu? maaf tadi di metromini saya engga langsung nolong neneknya soalnya posisi saya yang agak sulit untuk berpindah.”
Hanum terperangah. Iya,itu pemuda yang duduk di seberang tempat duduknya.
“Nenek ini harus di antar ke pasar Induk. Saya bingung karena hari ini saya ada interview di kantor jam 7. Saya udah telat. Tapi saya engga tega kalau nenek ini ke pasar induk sendiri sambil bawa plastik besar begini, ditambah lagi beliau lupa jalan” Hanum berusaha menjelaskan setenang mungkin
“Mba mau interview dimana?” pemuda itu bertanya lagi.
“Di perusahaan translator, di gedung itu” Hanum menunjuk ke arah gedung tinggi yang letaknya tak jauh dari tempat ia berdiri.
“Oh di situ? Yaudah mba santai aja, mba bisa pergi sekarang, biar nenek ini saya yang anter.” Pemuda itu tersenyum simpul.
“Oiya namanya siapa mas? Saya minta nomernya boleh?”
Pemuda itu sedikit terkejut. Hanum segera menyadari pertanyaan itu boleh jadi bukan pertanyaan yang tepat pada seorang pemuda yang baru dikenalnya pagi ini.
“Hmmm maksud saya, biar saya menghubungi mas untuk memastikan nenek ini baik-baik saja. Mas engga perlu khawatir saya engga modus kok mas.” Hanum berusaha menjelaskan sampai pipinya bersemu merah
“Engga kok mba, saya engga keberatan. Yaudah catat aja mba” pemuda itu pun memberikan nomer handphonenya. Hanum segera mencatatanya langsung di handphonenya “Oiya namanya?”
“Abdul, nama saya Abdul” setelah mencatatnya dengan baik Hanum pun berpamitan pada nenek yang tadi di tolongnya dan berlarian menuju kantor translator di seberang jalan.
Laki-laki yang mengaku bernama Abdul itu beristighfar, memegangi dadanya. Matanya menatap Hanum yang kini telah sempurna ada di seberang jalan. Kerudung biru panjangnya beterbangan mengikuti angin dari deru kendaraan bermotor. Ia berusaha mengendalikan hatinya saat menatap Hanum dari kejauhan.

BERSAMBUNG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Melewatkanmu

Sudut Cahaya