PASAR REBO, I’M IN LOVE (3)

“Apa? Kau menyamar jadi Office Boy?”
Suara paman Haris menggema di ruang kerja Hadi. Hadi masih termenung di kursinya.
“Bagaimana bisa Hadi? Ayolah, jangan karena wanita yang baru kau kenal itu kau jadi merendahkan dirimu sendiri” Paman Haris kembali bertanya. Hadi menatap tajam. Tidak, itu sungguh bukan kalimat yang baik di telinganya.
“Tidak ada yang merendahkan aku paman. Kan aku tidak mengatakan aku menyamar jadi Office Boy, gadis itulah yang berpikir aku ini office boy” Hadi menjelaskan.
“Itu karena kau terlalu santai dalam  berpakaian di perusahaan ini Hadi. Berhentilah naik metromini itu, kau bisa menggunakan motor gede mu itu kan? Pegawai di sini tentunya tidak akan ada lagi yang memandangmu sebelah mata”
Hening membungkus ruangan. Hadi terdiam cukup lama. Ia tidak pernah bermaksud menyamar jadi Office Boy, tapi benar juga kata paman Haris, ia terlalu santai. Tak jarang banyak pegawainya yang heran dengan gaya hidup Hadi yang terkesan sederhana.
“Tapi aku tidak begitu tertarik dengan semua kemewahan ini, paman. Tak banyak di dunia ini yang mau melihat sesuatu dari hal yang lebih berbobot, kebanyakan hanya menilai dari harta, ketampanan dan segala bentuk kehebatan duniawi. Aku sungguh tidak ingin bergantung dengan semua itu. Aku akan membangun perusahaan yang lain. Aku hanya harus belajar dari perusahaan ini, mengadopsi cara ayah mendirikan perusahaan. Aku tidak ingin orang-orang menilaiku hebat, padahal tidak begitu adanya” Hadi menghempaskan bahunya di kursi. Mengusap wajahnya.
“Jadi selanjutnya bagaimana? Bukankah seharusnya kau langsung bilang saja kalau kau pemilik perusahaan ini?” Paman Haris bersidekap. Pembicaraan ini jadi serius.
“Aku tidak tahu. Entahlah, aku tidak bisa biasa saja di depan gadis itu. Tidak mudah paman. Aku gerogi” Hadi tertunduk dalam.
“Baiklah, biar paman saja yang mengatakannya”
“TIDAK, Jangan. Aku ingin mengenal gadis itu lebih baik. Tapi bukan sebagai Hadi, tapi sebagai Abdul” Hadi terperanjat dari posisi duduknya.
“Abdul?” Paman Haris mengernyitkan keningnya.
“Ya, nama depanku. Abdul, Abdul Hadi” Hadi kembali ke posisi duduknya, bersandar di kursi.
“Kau ini ada-ada saja Hadi, baiklah mau sampai kapan kau jadi Abdul?” Paman Haris tersenyum lebar, barisan giginya bermunculan. Posisi duduknya kembali santai.
“Tidak tahu paman. Ini baru saja dimulai” Hadi balas tersenyum.

----------------------------------------------------------------------

Hari pertama kerja di perusahaan translator tidak begitu spesial untuk Hanum. Sejak pertama datang sampai jam makan siang, Hanum menemukan banyak ketidaknyamanan. Mulai dari karyawan lama yang memperlakukan dia sebagai ‘junior’ yang bebas di suruh-suruh,  sampai waktu sholat dhuhanya yang hilang karena saking banyaknya pekerjaan yang di serahkan padanya (yang sebenarnya di luar jobdesknya sebagai translator). Hanum termenung di meja kantin. Setelah melaksanakan sholat dzuhur, ia segera menuju kantin. Sudah lima belas menit waktu istirahatnya berlalu. Semangkuk bakso dan segelas jus apel yang di pesannya telah habis sejak tadi. Ia menghela nafasnya. Matanya menyapu tiap sudut kantin karyawan. Sebenarnya, perusahaan ini sangat mengandung nilai islami. Karyawannya harus muslim, dan muslimah harus berhijab. Itu sesuai sekali dengan kemauan Hanum untuk kerja di tempat yang tidak melarangnya melakukan ibadah atau minimal tidak melarangnya menggunakan gamis dan khimar panjang. Tapi mungkin saja ia memang harus menemukan ujian bertemu senior kerja yang ketus dan memperlakukannya tidak nyaman, sehingga membuat mood kerjanya hancur lebur.
“Boleh duduk di sini?” Seorang gadis berkerudung hijau terang dengan blus putih menghampiri tempat duduk Hanum.
“Oh iya silahkan bu” Hanum segera membuyarkan lamunannya, dan mempersilahkan gadis tersebut duduk berhadapan dengannya.
“Jangan panggil bu plis. Saya masih 21 tahun kok, belum punya anak. Paling kita seumuran” gadis itu meletakkan sepiring karedok di hadapannya. Hanum tersenyum kikuk, ia mana tahu umur orang ini jadi asal sebut saja.
Hanum memperhatikan gadis di hadapannya itu dengan seksama. Blus putih yang dikenakan gadis itu menarik perhatian Hanum. Blus putih dengan bahan menerawang, serta kerudung hijau terang yang dipakai melingkar di kepala, memperlihatkan rambutnya yang hitam legam. Hanum menatap jeri, mulutnya gatal ingin menegur, tapi ia tahan karena ia baru mengenal gadis itu, butuh pendekatan yang baik agar gadis itu mau dinasihati.
“Namanya siapa mba?” Hanum memberanikan diri bertanya, memecah keheningan di meja kantin.
“Oiya kita belum kenalan ya? Main duduk-duduk aja gue di sini” Gadis itu tertawa. Mengubah bicaranya dari ‘saya’ menjadi ‘gue’.
“Nama gue Valen. Valentina” Gadis bernama Valen itu mengulurkan tangannya dihadapan Hanum.
“Nama saya Hanum” Hanum ikut mengulurkan tangannya.
“Karyawan baru ya?” Valen bertanya lagi dengan tangan masih sibuk menyuap karedok ke mulut.
“Iya, baru sehari” Hanum tersenyum lembut.
“Ohh pantesan engga kenal saya” Valen tersenyum lebar, meletakkan sendoknya di piring penuh karedok. Menyadari gaya bicara Hanum yang sopan, ia lantas mengubah cara bicaranya lagi mengikuti Hanum.
“Wah berarti kamu terkenal ya di sini?” Hanum balas tersenyum lebar.
“Engga juga sih, yang terkenal di sini ya pak direktur lah. Dia kan yang punya perusahaan ini. Kamu mau aja saya bohongin” Valen tertawa lagi. meraup karedok di piringnya kemudian memasukkannya lagi ke mulut.
“Ngomong-ngomong pak direktur tuh yang mana ya?” Hanum bertanya polos.
Valen tersedak. Ia buru-buru meraih segelas es jeruk didepannya dan meneguknya hingga habis.
“Astaga, Hanum. Emang waktu interview engga ketemu pak Hadi?” Valen melotot ke arah Hanum, setelah gelasnya sempurna di letakkan di atas meja.
“Nah itu dia masalahnya, padahal saya udah deg-deg an ketika harus persentasi juga di depan direktur. Tapi malah pas saya interview, beliau katanya datang telat. Dan saya langsung di terima saja di sini. saya Cuma tahu namanya Pak Hadi. Tapi belum pernah ketemu” Hanum menjelaskan panjang lebar.
“Oh begitu. Susah kalau mau ketemu dia mah. Katanya sih, usahanya itu banyak. Dia itu udah ganteng, tajir, pekerja keras, sholeh pula dan masih muda juga, usianya paling masih 25 tahunan. Duh pokoknya idaman banget deh. Sayangnya, dia itu kebangetan aneh. Tiap hari berangkat ke kantor naik metromini, pake kaos seadanya. Padahal mah saya yakin di rumahnya mobil mewah ada” Valen menjelaskan dengan mulut masih di penuhi karedok.
“Bagaimana kamu tahu sedetail itu?” Hanum bertanya penasaran.
“Karena saya pernah di interview sama dia. Waktu saya melamar kerja di sini sekitar setahun yang lalu, saya pikir boleh-boleh saja engga berhijab karena saya kan muallaf ya, nah dialah yang menyuruh saya menggunakan kerudung sebagai syarat bekerja di sini. saat dia tahu saya itu muallaf, dia sering banget menyuruh karyawan lain bertanya-tanya tentang saya. Tentang tempat tinggal saya, saya tinggal sama siapa, dan pokoknya pertanyaan seputar kehidupan saya deh. Bahkan dia sendiri pernah menaikan gaji saya hanya untuk beli gamis, supaya saya pakai gamis. Udah saya beli sih, tapi belum pernah di pake abisnya gerah” Valen merapikan posisi duduknya, sepiring karedok di hadapannya kini telah habis di lahap olehnya.
“Pada saat itu saya sempet geer, saya pikir dia suka sama saya. Jadi saya kepoin segala hal tentang dia. Lagian bukan main baiknya tuh cowok. Tapi kegeeran saya langsung hilang waktu saya mendengar percakapanya dia dengan pak Haris di ruangannya, kalau wanita yang carinya adalah wanita berkerung panjang yang sholeha. Ya, saya mah tahu diri ajalah ya”
Hanum manggut-manggut mendengar cerita Valen. Pantas saja perusahaan ini terlihat agamis, yang punya aja sholeh begitu. Hatinya bahagia mendengar bahwa pemilik perusahaan tempat ia bekerja adalah seorang yang sholeh. Itu memberikan kemungkinan buat Hanum untuk bekerja di tempat yang tidak liberal dan sekuler. Itu sungguh-sungguh yang ia sangat hindari.

------------------------------------------------------------------

Semburat jingga pecah di langit-langit senja Pasar Rebo. Orang-orang berlalu-lalang di jalan. Membawa berkotak-kotak cerita di kepala. Para pejalan kaki meramaikan trotoar. Pedagang buah berjejer di pinggir-pinggir jalan. Memberi kesan warna-warni di sepanjang jalan pasar rebo.Beberapa pedagang baju, helm, dan berbagai pedangan asongan ikut meramaikan senja di pasar rebo. Hanum baru keluar dari gedung saat senja menyapa. Langkahnya gontai menuju tempat pemberhentian angkot-angkot. Saat tiba di tempat pemberhentian angkot,  matanya tertumbuk pada seorang laki-laki yang sangat ia kenali. Ia mempercepat langkahnya, berlarian menyusul laki-laki tersebut naik metromini.
Metromini dengan gesit melesat menyusuri jalan raya TB Simatupang. Hanum berhasil menyusul metromini,ia duduk di kursi samping pintu belakang, nafasnya tersengal-sengal. Laki-laki yang ia lihat tadi kini duduk di deretan kursi depan. laki-laki itu tidak lagi menggunakan kaos oblong, melainkan baju koko berbahan kaos berwarna kuning gading. “Mas Abdul dari mana? Kok kerja pake baju koko?” Hanum berbisik dalam hati.
Hanum masih tak bergeming menatap Abdul dari belakang. Laki-laki tersebut terlihat mengeluarkan Al-qur’an kecil dari sakunya kemudian membacanya. Hati Hanum berdesir. Pemandangan itu mengingatkannya bahwa ia belum menyelasaikan tilawah hariannya. Mas Abdul yang OB saja tak ketinggalan tilawahnya. Masa ia tertinggal? Diam-diam Hanum  menatap laki-laki itu dari kejauhan. Bibirnya mengulaskan senyum. masyaAllah, sungguh ia tidak terlihat seperti Office Boy sama sekali dalam balutan baju koko. Hanum segera menepiskan imajinasinya dan beristighfar berkali-kali. Tidak, ia tidak boleh mudah jatuh hati.
BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKOTAK KENANGAN | Cahaya Aksara

Melewatkanmu

Sudut Cahaya